Penyakit
dan Kakek Misterius
Terkadang,
apa yang kita rasakan dan fikirkan,
Tidak sama
dengan apa yang akan kita hadapi.
Dan
begitulah kehidupan yang berharga.
Lubuklinggau,
04 Maret 2015
Malam ini aku tak bisa memejamkan mataku.
Semenjak terbesit ingatan-ingatan yang dapat membuatku merasa hancur kembali
seakan aku tak mungkin bisa menghadapi hari esokku. Aku kembali putus asa. Tapi
tak henti ku lentikkan jari-jemariku di keyboard untuk mencurahkan segala
kegelisahan yang sering menggangguku.
…
Palembang,
17-desember-2008
Aku memejamkan
mata menandakan bahwa aku sedang menahan sentakan tibatiba di kepala ku yang di
ketahui itu terletak dekat dengan bagian otak belakangku. Aku sedikit meringis
hingga ayah, ibu, dan adik perempuanku yang baru duduk di kelas tiga sekolah
dasar segera mendekatiku. Aku purapura tak tahu, seakan-akan tadi tidak ada
yang terjadi.
“kak, kakak
mau makan apa? Bilang aja, nanti Papa beliin..” seorang pria paruh baya yang
merupahan ayahku ini membangunkan ku yang sedang terbaring lemah di kasur
lantai pada ruang keluarga ku.
”Ngga pa,
kakak ga nafsu makan.. lidah kakak pahit, kakak Cuma mau dibeliin juice melon
aja. “ jawabku dengan suara serak.
”oke bos,
jadi Cuma juice melon, Papa beliin pizza juga, papa sama mama pergi dulu ya,
cup” pamit ayahku seraya mengecup keningku yang masih panas bergantian kecupan
lembut ibuku. “jangan banyak gerak dulu ya ta,” kata ibuku. Aku mengangguk
pelan sekaligus tersenyum sedikit membalas ucapan ibuku, karena bila aku
tersenyum sedikit lebar bibirku terasa seperti koyak.
“Cha, jagain
Tita ya! Mama sama Papa pergi dulu, Assalamualaikum!” kata ayahku sedikit mengeraskan
suaranya.
“waalaikumsalam”
jawab kak Acha.
Memang sudah
hampir satu bulan ini kesehatanku terganggu. Aku tak tahu penyakit apa yang
sedang ku idap saat ini. Aku akui bahwa memang sedari lahir aku mempunyai fisik
yang lemah karena sakit atshma yang diturunkan kakek-nenek dari pihak ayah
ataupun ibuku. Telah lama sejak terakhir kali aku kumat, penyakit ini lah yang
paling menakutkan. Terkadang aku merasa bahwa mungkin saja ini adalah penyakit
parah. Seringkali aku terjatuh lagi saat aku sekedar mencoba berjalan barang
selangkah maupun dua langkah. Ini sangat menyulitkan untuk melakukan semua
kegiatan pribadiku.
Tiba-tiba
aku merasa ingin ke kamar mandi, aku bertekad untuk mandiri karena aku sudah
lelah di’layani’ oleh kakak perempuanku itu. Sedangkan kulihat ia sedang asyik
dengan –lappy nya untuk me-revisi tugas kuliah- nya. Aku bersandar dengan
dinding di sebelah kananku, tanganku mencoba menggapai meja computer yang dekat
seraya menegakkan kakiku dan, Brakkkkkk…. Badanku sedikit terhempas sehingga
keyboard computer beserta desknya terjatuh kelantai.
“TITA!!!..
mau kemana?! Kenapa ngga panggil kakak?” pekik kakakku seraya mengangkat
tubuhku. Aku hanya tersenyum kecut. “kakak sih, asik banget maen Zuma nya,
nyonya tita mau ke wece, tolong antar ya, inem” kataku sedikit bercanda.
Kakakku hanya sedikit manyun tak terima dengan
perkataanku sambil membopongku ke kamar mandi. Disaat seperti ini aku
benarbenar merasakan dimanja dan disayangi. Sebenarnya aku sedikit kaget dengan
kak Acha, yang aku ketahui dia adalah kakak dengan darah super dingin, dan
mempunyai naluri otoriter tinggi. Judes, dan hobby marah-marah bahkan sambil
mengomel ini, dapat menunjukkan perhatian yang sedikit lebih ‘aneh’ menurutku.
Kupandangi wajahnya yang menggambarkan wanita yang sedikit tomboy, kupandagi
lagi dan akupun sadar, dia wanita tercantik setelah ibuku. Aku tersenyum.
Setelah
selesai aku membuka pintu kamar mandi dan kembali ke pelukan kakakku yang
dengan setia menungguku di depan layaknya seorang bodyguard yang menjaga sang putri
kerajaan. Aku kembali dibopongnya hingga kembali ke kasur lantaiku.
“kalo mau
apa-apa, atau mau kemana-mana.. bilang dong. Kalau kamu jatuh kaya tadi sampe
luka kan kakak yang kena marah.” Pesan kakakku. “iyaiya, nenek sihirr..”
cercaku padanya.
Aku kembali
ke singasana yang sudah satu bulan ini sudah aku duduki, membaringkan kepalaku
lebih tinggi dari biasanya seraya memencet tombol remote control mencari acara televisi
yang kuinginkan.
***
Oh iya, aku
belum mengenalkan siapa aku dan keluargaku. Namaku Jeanita, tetapi panggilanku
dirumah adalah Tita. Sedangkan saat disekolah aku dipanggil Nita mengikuti nama
asliku. Sekarang aku duduk di kelas Sembilan di salah satu Madrasah Tsanawiyah
Negeri 1 Palembang (setara SMP) terbaik di kotaku. Aku anak ketiga dari empat
saudara yang terdiri dari satu laki-laki dan tiga perempuan.
Yang
laki-laki adalah kakak tertuaku yang selalu kupanggil Abang ferry, lakilaki
tertampan kedua setelah ayahku yang berbadan tambun dan berperut buncit. Ia
sedang kuliah di kampus computer terbaru di Palembang dan yang terbaik (pada
saat itu). Yaitu PalComTech, ia mengambil program D-1 di jurusan Desain Grafis.
Kakak acha
adalah anak kedua, seperti yang kukatakan sebelumnya dia sedikit tomboy, sejak
kecil ia selalu bermain layang-layang dengan anak lelaki di sekitar rumah kami.
Tapi ia sedikit berbeda karena hampir satu tahun ini dia menggunakan jilbab
sehingga terlihat lebih wanita. Sekarang ia di semester 7 di Universitas
Sriwijaya ‘layo’ (menyebutkan daerah Tempat Universitasnya) Jurusan Ekonomi
Pembangunan. ‘layo’ adalah sebutan untuk keberadaan kampus tersebut atau lebih
dikenal Inderalaya. Dan sekaligus menunjukkan status bahwa mahasiswa ‘layo’
adalah mahasiswa yang lulus melalui jalur SNMPTN, bukan seperti mahasiswa UNSRI
Bukit yang lulus melalui ujian mandiri.
Dan yang
terakhir adalah adik kecilku Lala, dia sekolah di Madrasah Ibtidayah Negeri 1
Palembang yang bertetangga dengan sekolah-ku. Usianya baru saja genap 8 tahun
November lalu. Ia anak yang manis dan aktif namun sedikit lebih nakal dari anak
biasanya. Biasanya dia selalu mengikuti kemana saja aku pergi dirumah maupun
disekolah, sehingga terkadang aku terganggu oleh tingkahnya itu. Sering ia
kumarahi dan kusuruh untuk menjauhi ku, terkadang aku merasa tak tega. Tapi
bagaimana lagi, karena aku juga butuh ruang untuk berinteraksi dengan
teman-temanku.
Kami
berempat lahr dari seorang ayah dan ibu super yang terbaik yang pernah ada di dunia ini.
Ayah dan ibu yang menyayangi anak-anaknya dan selalu menjadi tauladan bagi
siapapun yang melihatnya. Mereka berdua menghargai kehidupan social dan
bertetangga apalagi di komplek perumahan kami yang notabene dihuni oleh
pasangan yang baru menikah barang setahun duatahun atau bahkan yang baru saja
menikah.
Ayahku
bernama Rozi yang bekerja di kantor Departemen Keuangan yang mengurusi masalah
Pajak penduduk dengan jabatan Juru Sita dan sedang ditugaskan di kota kelahiran
ibuku, Lubuklinggau. Bulan lalu ia pun genap berusia 48 tahun, tapi ia selalu
kuanggap masih muda saja. Meskipun ia berkulit hitam dan kurus, wajahnya
bersinar menunjukkan bahwa ia memiliki istri super yang selalu merawat suaminya
dengan baik yang merupakan ibu kandungku. Bernama Maryanti, berusia sekitar 44
tahun. Ibuku memiliki wajah bundar dengan kulit yang bersinar meski tanpa
memakai bedak. Bermata sipit seperti orang –hampir cina yang diturunkan kepada
kami ber-empat. Tubuhnya gemuk layaknya ibu-ibu biasa, cerewet dan mempunyai
tangan dan pelukan yang hangat.
Aku cinta
ayah dan ibuku, entah mungkin tanpa mereka berdua,tak tahu apa jadinya kami
nanti. Ataupun salah satu dari mereka pergi, akankah aku dapat menjalani
hidupku dengan normal? Entahlah.
***
Kembali aku
tersentak oleh rasa sakit yang menjalar dari ubun-ubunku hingga terpusat ke
otak belakangku, terasa seperti kepalaku akan lepas dan menggelinding ke luar. Rasa
pedih ini menjalar ke seluruh tulang belakakngku, aku bahkan tak sanggup
menggerakkan tubuhku sedikit saja. Aku menangis diamdiam, Ya Tuhan.. ada apa
denganku sekarang? Apakah waktuku akan segera tiba? Jika memang waktuku sudah
dekat, maka percepatlah! Aku tak ingin membuat keluargaku kesusahan melihatku
seperti ini lebih lama lagi. Kugigit bonekaku untuk menyembunyikan rintihanku.
Kurasakan kaki dan tanganku dingin seperti kehilangan darahnya. 15 menit,
sekitar 15 menit aku menangis menahan sakit, dan jleb! Secara ajaib seperti
biasanya rasa sakit itu menghilang. Tak lama kemudian kudengar suara gas mobil
di depan rumah, ternyata Ayah dan ibuku pulang dan membawa kantung-kantung
besar berisi semua makanan yang aku sukai, dan adik bungsuku membawa kantung
kecil yang sepertinya ringan, ia tersenyum bahagia menunjukkan gigi ompongnya.
“kak, liat
aku sama mama papa beli apa? Semuanya untuk kakak lhooo… “ ujarnya dengan suara
yang sok pamer kepadaku. Kantung-kantung tersebut mereka letakkan didekatku
memberikan kode bagiku untuk membongkarnya. Kupaksakan untuk duduk. Aku hanya
sedikit meringis, menahan sakit agar tak membuat keluarga yang sangat
menyayangiku panik.
Ada Pizza,
juice melon, martabak, snack, yoghurt, maupun permen yang biasa kuminta kepada
orangtuaku. Sebenarnya aku tak terlalu menginginkan makanan itu. Tapi untuk
menghargai usaha orang tuaku kubuka satupersatu makanan itu dan kupanggil adik
sepupuku Dorris yang memang sudah lama tinggal dengan kami untuk makan bersama.
“ris, hei
dorris, sudahlah belajar, ayoo makan sini.” Ujarku dengan usaha sedikit untuk
berteriak.
“iya kak…” adik
sepupu lelakiku ini memang penurut. Terkadang sering ia aku perintah sana-sini
untuk mengerjakan pekerjaan rumahku.
Andaisaja
aku sedang sehat, tak akan kubagi makananku kepada kak Icha dan Dorris seperti
saat ini, karena aku memang pelit dan egois.
Tak lama
kemudian , bunyi knalpot motor gede milik Abang-ku pun mendekat ke pintu
bagasi. Karena bagasi dan ruang keluarga kami bersebelahan, Abang-ku langsung
bergabung dengan kami. Dan kami semuapun menikmati makanan ini walaupun aku
hanya bisa memakan segigit dua gigit dari semuanya. Akupun minum obat dan
berbaring di sofa ruang tamu yang nyaman ini. Dan tertidur nyenyak tak seperti
biasanya.
***
“….iya, iya,
jadi ambulance nya jam 10 malem ya? Hmm oke oke.. wassalamualaikum” ayahku
menutu percakapannya di dalam telepon genggamnya. Aku yang sedang tidur tadi
langsung terbelalak mendengar kata ‘Ambulance’ aku sedikit sensi, akhirnya
terucaplah dimulutku.
“kenapa pa
pesen ambulance? Buat angkut kakak kerumah sakit ya?” kataku dengan layu.
Ibuku yang
mendengar pertanyaanku langsung menghampiri dan mengusap wajahku. Ayahku
sedikit terkejut dengan omonganku.
“ya Allah
nak, kanapa mikir sampe situ. Papa pesen ambula buat orang tuanya om Jemi di
Kayuagung, barusan meninggal mau dibawa ke Palembang. Jangan sembarangan” ujar
ibuku sedih. Ayahku langsung memelukku dan berkata, “kakak pasti sehat kok,
sudah istirahat lagi di kamar mama papa aja sama lala” aku tersenyum dan
menuruti perintah ayahku.
***
Esok harinya
aku merasa tubuhku bugar kembali dan merasa rindu akan sahabat dan temanku
disekolah. Aku merengek ingin kesekolah, pastinya aku tidak diizinkan. Tapi
kulepaskan seribu rayuan gombalku higga aku berhasil membujuk mama untuk
memperbolehkanku pergi ke sekolah. Aku tersenyum sumringah. Baru kali ini aku
begitu semangat menuju ke sekolah.
Baru saja
tiba di sekolah, Dina langsung merangkulku untuk menunjukkan bahwa ia merindukanku. Aku tersenyum.
“ta!!!.
Sudah sehat?! Aku kangen sama kamu..” teriaknya heboh.
“iya,
alhamdulillah, semoga aja ngga kayak minggu-minggu kemaren Cuma 1 hari masuk
dalem seminggu..” jawabku dengan energy yang tak kalah darinya.
“iya!! Udah
3 minggu kamu kaya gitu, udahlah, anggep sekolahan punya nenek kamu aja”balasnya.
Kami pun tertawa dengan cerianya.
Tiba
dikelas, aku melihat sesosok anak laki-laki yang menurutku menjengkelkan.
Mempunyai tahi lalat dimana-mana. Kami bertemu pandang, aku merasa muak melihat
wajah nya dan pula kulihat raut kebencian dimatanya. Aku pun ingat kejadian
bulan lalu yang membuat kami seperti ini.. saling membenci. Andre, itulah
namanya.
***
Bel yang menandakan jam
sekolah berakhirpun berbunyi, aku berlari ke kelas IX a, kelas sahabatku sejak
pertama kali sekolah disini, Windi. Aku menunggu di depan kelasnya dengan
senyum yang lebar. Sekitar 5 menit menunggu, akhirnya ia pun keluar kelas.
“kenapa ta
senyumsenyum?” tanyanya dengan wajah heran.
“Ayo ikut
aku, ada pertunjukkan di depan sekolah” jawabku bersemangat.
“nah, aku ga
bisa sekarang. Aku piket, harus bersihin kelas dulu. Besok ceritain aja tuh
pertunjukkan”jawabnya sedikit lesu.
“yahhh.
Yaudahlah, bye “ aku pun berbalik badan, tapi aku sangat bersemangat.
Di depan
sekolah..
“Ndre,
kesini sebentar.” Panggilku kepada seorang anak lelaki bertubuh kurus tinggi
yang sebelumnya sangat kusukai itu.
“kenapa?” Pekiknya
cuek.
“kesini!!”
aku sedikit berteriak mengimbangi bunyi bus kota yang berlalu-lalang di
belakangku. Anak itu hanya diam. Akhirnya kuhampiri dia di pagar sekolah tempat
ia bersandar. Masih kupasang wajah ramah kepadanya. “Aku mau ngomong!” kataku lagi.
“ngomong apa sih? Disini aja” jawabnya cuek. Aku gemas melihat tingkahnya yang
menjengkelkan seperti itu. Kuraih tangannya dan kutarik agar ia mengikutiku ke
trotoar. Dia hanya menutupi wajahnya dan membentak.
“kenapa
sih?! Jangan tarik-tarik! Aku malu! Malu sama Ditha!”. Darahku melaju sampai
keotak membuatku benarbenar terbakar emosi.
“oh.. jadi
kamu malu? Malu sama Ditha? Jadi kenapa kamu cium pipi aku kemaren kalo kamu
malu sama dia?!” akupun membentaknya hingga teman-teman sekolahku maupun adik kelasku
melihat kearah kami berdua.
“lah? Aku
kan cuma ci…”. Plakkkkkkk! Kulayangkan telapak tanganku beserta kelima jarinya
di pipi sebelah kirinya tanpa membiarkan ia menyelesaikan kalimat yang sudah
bisa kutebak.
“hah?! Nggak
malu lagi kan? Ini baru namanya malu!!” bentakku dengan wajah ganas. Ia diam
dengan tangan yang mengelus pipinya.
Semua orang
pun berlari menuju kami, mayoritas perempuan menghampiriku untuk menanyakan apa
yang sedang terjadi. Kudengar suara
andre berteriak. “Lihat aja nanti! Akan aku balas semuanya!” Pekiknya geram.
Akupun membalas, “emang Gua takut?! Dasar banci, jangan nunggu nanti! Sekarang
kalo mau bales!?” akupun menantangnya dengan wajah bangga telah memberikan
pelajaran kepadanya.
***
“jadi kalo minus
dikalikan minus hasilnya? Plus. Baiklah, cukup disini dulu ya pelajaran hari
ini. Jangan lupa belajar sedah kelas Sembilan.” Tutup pak hilmi menandakan
bahwa jam istirahat sudah tiba. Akupun berdiri bersiap untuk pergi ke kantin
‘Pak Bendot’ untuk membeli snack untuk mengganjal perutku. Baru saja dua
langkah aku berjalan, tibatiba kepalaku kembali sakit. Badanku terasa akan
rubuh sehingga aku mencoba dengan sigap menarik kursi agar aku bisa duduk. Dina
yang yang sudah di pintu kaget dan menghampiriku seakan sudah tahu, apa yang telah
terjadi kepadaku. Aku menangis terisak. Dina pun berlari ke ruang guru
memberitahukan ke guru tentang diriku, sedangkan teman-teman ku yang lain
berbagi tugas merawatku. Dan pada saat itulah aku merasa aku mempunyai teman
yang baik disini.
Atul menuju kantin
untuk membeli segelas air mineral untukku, Lili menghiburku dengan banyolannya
yang meredakan sakitku, sedangkan Risty, memijat-mijat leherku. Tak lama
kemudian bu Devi selaku wali kelasku datang dan meraba kepalaku untuk memeriksa
temperature badanku. Kulihat dia sedikit terkejut karena panas tubuhku sangat
tinggi.
“masih panas
badan nita ini. Jam berapa adik nya Nita yang sekolah di MI di jemput
biasanya?” Tanya bu Devi.
“jam 12
bu..” jawabku seadanya.
“yasudah
sebentar lagi jam 12, tunggu di UKS saja. Langsung pulang ya.” Ujarnya sambil
membelai kepalaku.
“iya Bu..”
teman-temanku membereskan buku milikku dan dimasukkannya kedalam tasku. Aku pun
di bopong keluar kelas untuk pulang. Dan sekali lagi aku berpapasan dengan
Andre. Aku tahu ia memperhatikanku hari ini. Tapi, yasudahlah, nasi telah
menjadi bubur kepedulianku kepadanya sudah berubah menjadi api kebencian yang
sangat mendalam.
Tiba di UKS,
aku lihat ada adikku yang sedang duduk di dekat pos satpam melalui jendela
dekat ranjang besi tempatku berbaring. Aku memperhatikan tawanya yang lepas
sambil bercanda dengan Annisa, sahabatnya. Aku membayangkan, apakah adikku akan
tertawa lepas seperti itu jika aku tak ada lagi di dunia ini? Apakah ayah, ibu,
kakak, dan abangku dapat bahagia meskipun aku telah menghilang dari kehidupan
mereka. Semoga saja mereka bahagia. Tuhan, jagalah mereka.. mereka adalah
orang-orang yang sangat kucintai. Aku mungkin takkan bisa melihat senyum mereka
lagi, Tuhan, ambillah nyawaku. Aku sudah siap untuk bertemu dengan-Mu.
Tak lama
kemudian aku melihat Abangku memarkirkan mobil kami di depan sekolah. Aku
bangkit dari tidurku dan bergegas pamit kepada Bu Devi.
“Kalau besok
masih sakit, jangan kesekolah dulu. Ngga usah kirim surat tidak apa-apa” pesan
bu devi kepada Abangku.
“iya bu,
maaf ya bu merepotkan. Assalamualaikum”. Pamit Abangku, kami pun langsung
menuju mobil dan pulang kerumah.
***
Sesampainya
dirumah aku langsung membasuh wajahku dengan wudhu. Ku tunaikan shalat Dzuhur
yang jarang sekali aku laksanakan. Setelah itu kupakaikan mukena bermotif bunga
hijau yang dibelikan oleh ayahku pada bulan Ramadhan tahun lalu.
“yaa Allah,
ampunilah segala dosaku, dosa ayah dan ibuku, dosa adik kakakku. Jagalah mereka
dalam lindunganMu. Ya Allah sembuhkanlah aku dari penyakit yang tidak aku
ketahui ini. Sekali lagi yaa Allah ambil lah nyawaku yang memang milik-Mu ini.
Kurangilah kecemasan keluargaku atas penyakitku ini. Jika memang benar bahwa
aku akan Engkau jemput, aku tunggu hingga 40 hari ini. Jika tidak, berikanlah
aku umur yang panjang untuk membahagiakan kedua orang tuaku.. Rabbighfirlii
Waliwalidayya warhamhuma kama Rabbayani shagirah. Amin..”. aku mengusap air
mata yang telah membasahi pipiku, tanpa kulepas lagi aku terdidur di atas
sajadah merah dan masih mengenakan mukena.
***
Makan malam
ini lagi-lagi aku harus menelan semangkuk penuh bubur putih yan dibuatkan oleh
kak Acha. Aku merasa mual dan akhirnya aku memuntahkannya lagi. Lagi-lagi kakak
dan adikku kerepotan membersihkan bekasku itu. Aku menangis dalam diam lagi.
“Tita ini
sakit apa sih? Jangan-jangan tumor otak!” nada pertanyaan kakakku ini
menunjukkan bahwa ia sudah jenuh mengurusku satu bulan ini. Ibuku langsung
melotot dan mencubit paha kak Acha. Melihat kejadian itu, aku langsung
tersentak. Aku mulai berfikir perkataan itu ada benarnya. Aku selalu
mengeluhkan kepalaku yang sakit. Ataukah aku kanker tulang? Mengingat tulang
belakangku yang tak jarang nyeri di waktuwaktu tertentu. Ah sudahlah! Tapi
kenapa ibuku seperti itu? Kuingat selama aku sakit hanya satu kali aku diajak
berobat menemui dokter. Dan sisanya? Ibuku hanya menebus obat-obatan dari
dokter yang sekarang dicampur dengan sedikit obat herbal yang pahit sekali.
Ayah. Ada apa dengan diriku ini. Aku mulai berfikir berlebihan.
Untuk
kesekian kalinya aku tersenyum kecut. Ibu menghampiriku dengan sebotol air yang
di dalamnya direndam beberapa akar-akar herbal yang aku tidak faham apa
namanya. Baru kali ini aku melihat air ini selama aku sakit.
“tita hari
ini belum minum obat kan? Nih ada obat lagi yang baru. Semoga aja besok titta
udah sehat lagi ya sayang. Nih habiskan dalam sekali tarikan nafas.” Ujar
ibuku.
Aku hanya
menuruti perkataan ibuku.
“Bismillah.”.
tak sampai 10 detik aku menghabiskan sebotol air yang ternyata tak pahit ini.
Aku tersenyum sumringah bahagia karena akhirnya aku tak meminum obat herbal
yang pahit seperti empedu ikan. Aku kembali memakan buburku. Dan ajaibnya aku
makan dengan lahap dan tidak memuntahkannya. Setelah itu aku menarik selimutku
karena merasa sedikit kedinginan.
***
Aku memasuki
pintu gerbang indah berisi orang-orang yang tak kukenali. Tempat ini terlihat
begitu indah, tetapi kenapa aku merasakan wangi bunga melati yang bercampur
mawar seperti di depan rumahku di ujung hidungku. Aku berjalan sekitar sepuluh
langkah ke kanan dan aku melihat orang-orang tua yang sehat tetapi terlihat
miskin dan menyedihkan namun mengguratkan wajah yang bahagia. Tempat apa ini?
Sepertinya aku tak pernah ke tempat ini. Aku menyentuh bahu seorang lelaki yang
sepertinya lebih dari seabad yang sepertinya ku kenali. Tapi aku tak tahu siapa
namanya dan dimana kami bertemu. Ia menoleh kepadaku. Aku ingin bertanya ini
ada dimana. Tetapi ia langsung meraih tanganku dan mengajakku untuk pergi
darisana dan kembali ke gerbang tempat aku masuk kesisni tadi.
Aku hanya
tercengang. Dia tidak berbicara sepatah katapun denganku.
“maaf
puyang, Tita harus kemana?” tanyaku sedikit merasa sungkan.
Dia hanya
tersenyum. Dan mengarahkan tangan nya seperti menunjuk ke arah berlainan dari
tempat aku pergi tadi. Aku pun menuruti arah dari tangannya. Aku melihat
kucingku sedang menjilati bulu tiga warnanya.
“meng. Kok
ada disini?” tanyaku seperti orang bodoh kepada Meng. Dia berdiri dengan
keempat kakinya dan beranjak pergi seraya menoleh kepadaku mengisyaratkan aku
untuk mengikutinya. Aku mengikutinya, kususuri jalan yang terang dan berkabut
ini. Ternyata ini adalah rumahku.
Kumasuki
rumahku dan kulihat ayah, ibu, adik, kakak, dan abangku sedang tertidur. Aku
merasa lega karena telah kembali kerumah. Aku pun tidur lagi keatas ranjangku.
***
Ibuku
memegang keningku ingin memeriksa suhu tubuhku. Aku jadi terbangun.
“ma, tadi
Tita jalan-jalan sendirian, tita tersesat. Untung ada kakek yang nunjukkin arah
ke tita. Terus ada Meng yang bawa Tita pulang.. Pas tita pulang mama sama papa
udah tidur” ceritaku ke mama. Mama hanya mengernyitkan dahi, kebingungan.
“kapan kakak
pergi? Dari kemaren sore kamu tidur, bangunnya siang begini, kakak juga belum
pulang katanya mau nginep dirumah nenek karena besok ada kuliah pagi. Mimpi
niyeee” ledek ibuku seraya kembali kedapur. Aku merasa aneh, sepertinya tadi
itu nyata. Aku merasa benarbenar berjalan dengan kaki telanjang. Aku benarbenar
pergi ketempat itu. Aku mencari Meng, ternyata dia ada di bawah kasurku sambil
menjilat bulunya seperti biasa. Kegendong tubuhnya, kutanya pelan. “meng, tadi
aku benarbenar pergi kan?” aku benarbenar bodoh. Berharap meng dapat menjawab.
Meng hanya menjilatjilat tanganku, sepertinya Meng menjawab iya. Tapi ah
sudahlah~ anggap saja itu benarbenar mimpi.
Aku ke dapur
menyusul ibuku dan membantu mengupas bawang. Hingga sore hari aku tak tidur dan
tak berbaring. Ajaibnya aku merasa sehat kembali dan benar-benar sehat.
Sepertinya ada energy baru didalam tubuhku. Hingga malampun tiba aku tak
merasakan sakit yang menghentak tubuhku bahkan aku tak merasa pusing.
Terima kasih
ya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar