Translate

Kamis, 19 Maret 2015

cerbung : Halo kehidupan



Penyakit dan Kakek Misterius

Terkadang, apa yang kita rasakan dan fikirkan,
Tidak sama dengan apa yang akan kita hadapi.
Dan begitulah kehidupan yang berharga.
Lubuklinggau, 04 Maret 2015
Malam ini aku tak bisa memejamkan mataku. Semenjak terbesit ingatan-ingatan yang dapat membuatku merasa hancur kembali seakan aku tak mungkin bisa menghadapi hari esokku. Aku kembali putus asa. Tapi tak henti ku lentikkan jari-jemariku di keyboard untuk mencurahkan segala kegelisahan yang sering menggangguku.
Palembang, 17-desember-2008
Aku memejamkan mata menandakan bahwa aku sedang menahan sentakan tibatiba di kepala ku yang di ketahui itu terletak dekat dengan bagian otak belakangku. Aku sedikit meringis hingga ayah, ibu, dan adik perempuanku yang baru duduk di kelas tiga sekolah dasar segera mendekatiku. Aku purapura tak tahu, seakan-akan tadi tidak ada yang terjadi.
“kak, kakak mau makan apa? Bilang aja, nanti Papa beliin..” seorang pria paruh baya yang merupahan ayahku ini membangunkan ku yang sedang terbaring lemah di kasur lantai pada ruang keluarga ku.
”Ngga pa, kakak ga nafsu makan.. lidah kakak pahit, kakak Cuma mau dibeliin juice melon aja. “ jawabku dengan suara serak.
”oke bos, jadi Cuma juice melon, Papa beliin pizza juga, papa sama mama pergi dulu ya, cup” pamit ayahku seraya mengecup keningku yang masih panas bergantian kecupan lembut ibuku. “jangan banyak gerak dulu ya ta,” kata ibuku. Aku mengangguk pelan sekaligus tersenyum sedikit membalas ucapan ibuku, karena bila aku tersenyum sedikit lebar bibirku terasa seperti koyak.
“Cha, jagain Tita ya! Mama sama Papa pergi dulu, Assalamualaikum!” kata ayahku sedikit mengeraskan suaranya.
“waalaikumsalam” jawab kak Acha.
Memang sudah hampir satu bulan ini kesehatanku terganggu. Aku tak tahu penyakit apa yang sedang ku idap saat ini. Aku akui bahwa memang sedari lahir aku mempunyai fisik yang lemah karena sakit atshma yang diturunkan kakek-nenek dari pihak ayah ataupun ibuku. Telah lama sejak terakhir kali aku kumat, penyakit ini lah yang paling menakutkan. Terkadang aku merasa bahwa mungkin saja ini adalah penyakit parah. Seringkali aku terjatuh lagi saat aku sekedar mencoba berjalan barang selangkah maupun dua langkah. Ini sangat menyulitkan untuk melakukan semua kegiatan pribadiku.
Tiba-tiba aku merasa ingin ke kamar mandi, aku bertekad untuk mandiri karena aku sudah lelah di’layani’ oleh kakak perempuanku itu. Sedangkan kulihat ia sedang asyik dengan –lappy nya untuk me-revisi tugas kuliah- nya. Aku bersandar dengan dinding di sebelah kananku, tanganku mencoba menggapai meja computer yang dekat seraya menegakkan kakiku dan, Brakkkkkk…. Badanku sedikit terhempas sehingga keyboard computer beserta desknya terjatuh kelantai.
“TITA!!!.. mau kemana?! Kenapa ngga panggil kakak?” pekik kakakku seraya mengangkat tubuhku. Aku hanya tersenyum kecut. “kakak sih, asik banget maen Zuma nya, nyonya tita mau ke wece, tolong antar ya, inem” kataku sedikit bercanda. Kakakku hanya sedikit manyun tak terima dengan  perkataanku sambil membopongku ke kamar mandi. Disaat seperti ini aku benarbenar merasakan dimanja dan disayangi. Sebenarnya aku sedikit kaget dengan kak Acha, yang aku ketahui dia adalah kakak dengan darah super dingin, dan mempunyai naluri otoriter tinggi. Judes, dan hobby marah-marah bahkan sambil mengomel ini, dapat menunjukkan perhatian yang sedikit lebih ‘aneh’ menurutku. Kupandangi wajahnya yang menggambarkan wanita yang sedikit tomboy, kupandagi lagi dan akupun sadar, dia wanita tercantik setelah ibuku. Aku tersenyum.
Setelah selesai aku membuka pintu kamar mandi dan kembali ke pelukan kakakku yang dengan setia menungguku di depan layaknya seorang bodyguard yang menjaga sang putri kerajaan. Aku kembali dibopongnya hingga kembali ke kasur lantaiku.
“kalo mau apa-apa, atau mau kemana-mana.. bilang dong. Kalau kamu jatuh kaya tadi sampe luka kan kakak yang kena marah.” Pesan kakakku. “iyaiya, nenek sihirr..” cercaku padanya.
Aku kembali ke singasana yang sudah satu bulan ini sudah aku duduki, membaringkan kepalaku lebih tinggi dari biasanya seraya memencet tombol remote control mencari acara televisi yang kuinginkan.
***
Oh iya, aku belum mengenalkan siapa aku dan keluargaku. Namaku Jeanita, tetapi panggilanku dirumah adalah Tita. Sedangkan saat disekolah aku dipanggil Nita mengikuti nama asliku. Sekarang aku duduk di kelas Sembilan di salah satu Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Palembang (setara SMP) terbaik di kotaku. Aku anak ketiga dari empat saudara yang terdiri dari satu laki-laki dan tiga perempuan.
Yang laki-laki adalah kakak tertuaku yang selalu kupanggil Abang ferry, lakilaki tertampan kedua setelah ayahku yang berbadan tambun dan berperut buncit. Ia sedang kuliah di kampus computer terbaru di Palembang dan yang terbaik (pada saat itu). Yaitu PalComTech, ia mengambil program D-1 di jurusan Desain Grafis.
Kakak acha adalah anak kedua, seperti yang kukatakan sebelumnya dia sedikit tomboy, sejak kecil ia selalu bermain layang-layang dengan anak lelaki di sekitar rumah kami. Tapi ia sedikit berbeda karena hampir satu tahun ini dia menggunakan jilbab sehingga terlihat lebih wanita. Sekarang ia di semester 7 di Universitas Sriwijaya ‘layo’ (menyebutkan daerah Tempat Universitasnya) Jurusan Ekonomi Pembangunan. ‘layo’ adalah sebutan untuk keberadaan kampus tersebut atau lebih dikenal Inderalaya. Dan sekaligus menunjukkan status bahwa mahasiswa ‘layo’ adalah mahasiswa yang lulus melalui jalur SNMPTN, bukan seperti mahasiswa UNSRI Bukit yang lulus melalui ujian mandiri.
Dan yang terakhir adalah adik kecilku Lala, dia sekolah di Madrasah Ibtidayah Negeri 1 Palembang yang bertetangga dengan sekolah-ku. Usianya baru saja genap 8 tahun November lalu. Ia anak yang manis dan aktif namun sedikit lebih nakal dari anak biasanya. Biasanya dia selalu mengikuti kemana saja aku pergi dirumah maupun disekolah, sehingga terkadang aku terganggu oleh tingkahnya itu. Sering ia kumarahi dan kusuruh untuk menjauhi ku, terkadang aku merasa tak tega. Tapi bagaimana lagi, karena aku juga butuh ruang untuk berinteraksi dengan teman-temanku.
Kami berempat lahr dari seorang ayah dan ibu super  yang terbaik yang pernah ada di dunia ini. Ayah dan ibu yang menyayangi anak-anaknya dan selalu menjadi tauladan bagi siapapun yang melihatnya. Mereka berdua menghargai kehidupan social dan bertetangga apalagi di komplek perumahan kami yang notabene dihuni oleh pasangan yang baru menikah barang setahun duatahun atau bahkan yang baru saja menikah.
Ayahku bernama Rozi yang bekerja di kantor Departemen Keuangan yang mengurusi masalah Pajak penduduk dengan jabatan Juru Sita dan sedang ditugaskan di kota kelahiran ibuku, Lubuklinggau. Bulan lalu ia pun genap berusia 48 tahun, tapi ia selalu kuanggap masih muda saja. Meskipun ia berkulit hitam dan kurus, wajahnya bersinar menunjukkan bahwa ia memiliki istri super yang selalu merawat suaminya dengan baik yang merupakan ibu kandungku. Bernama Maryanti, berusia sekitar 44 tahun. Ibuku memiliki wajah bundar dengan kulit yang bersinar meski tanpa memakai bedak. Bermata sipit seperti orang –hampir cina yang diturunkan kepada kami ber-empat. Tubuhnya gemuk layaknya ibu-ibu biasa, cerewet dan mempunyai tangan dan pelukan yang hangat.
Aku cinta ayah dan ibuku, entah mungkin tanpa mereka berdua,tak tahu apa jadinya kami nanti. Ataupun salah satu dari mereka pergi, akankah aku dapat menjalani hidupku dengan normal? Entahlah.
***
Kembali aku tersentak oleh rasa sakit yang menjalar dari ubun-ubunku hingga terpusat ke otak belakangku, terasa seperti kepalaku akan lepas dan menggelinding ke luar. Rasa pedih ini menjalar ke seluruh tulang belakakngku, aku bahkan tak sanggup menggerakkan tubuhku sedikit saja. Aku menangis diamdiam, Ya Tuhan.. ada apa denganku sekarang? Apakah waktuku akan segera tiba? Jika memang waktuku sudah dekat, maka percepatlah! Aku tak ingin membuat keluargaku kesusahan melihatku seperti ini lebih lama lagi. Kugigit bonekaku untuk menyembunyikan rintihanku. Kurasakan kaki dan tanganku dingin seperti kehilangan darahnya. 15 menit, sekitar 15 menit aku menangis menahan sakit, dan jleb! Secara ajaib seperti biasanya rasa sakit itu menghilang. Tak lama kemudian kudengar suara gas mobil di depan rumah, ternyata Ayah dan ibuku pulang dan membawa kantung-kantung besar berisi semua makanan yang aku sukai, dan adik bungsuku membawa kantung kecil yang sepertinya ringan, ia tersenyum bahagia menunjukkan gigi ompongnya.
“kak, liat aku sama mama papa beli apa? Semuanya untuk kakak lhooo… “ ujarnya dengan suara yang sok pamer kepadaku. Kantung-kantung tersebut mereka letakkan didekatku memberikan kode bagiku untuk membongkarnya. Kupaksakan untuk duduk. Aku hanya sedikit meringis, menahan sakit agar tak membuat keluarga yang sangat menyayangiku panik.
Ada Pizza, juice melon, martabak, snack, yoghurt, maupun permen yang biasa kuminta kepada orangtuaku. Sebenarnya aku tak terlalu menginginkan makanan itu. Tapi untuk menghargai usaha orang tuaku kubuka satupersatu makanan itu dan kupanggil adik sepupuku Dorris yang memang sudah lama tinggal dengan kami untuk makan bersama.
“ris, hei dorris, sudahlah belajar, ayoo makan sini.” Ujarku dengan usaha sedikit untuk berteriak.
“iya kak…” adik sepupu lelakiku ini memang penurut. Terkadang sering ia aku perintah sana-sini untuk mengerjakan pekerjaan rumahku.
Andaisaja aku sedang sehat, tak akan kubagi makananku kepada kak Icha dan Dorris seperti saat ini, karena aku memang pelit dan egois.
Tak lama kemudian , bunyi knalpot motor gede milik Abang-ku pun mendekat ke pintu bagasi. Karena bagasi dan ruang keluarga kami bersebelahan, Abang-ku langsung bergabung dengan kami. Dan kami semuapun menikmati makanan ini walaupun aku hanya bisa memakan segigit dua gigit dari semuanya. Akupun minum obat dan berbaring di sofa ruang tamu yang nyaman ini. Dan tertidur nyenyak tak seperti biasanya.
***
“….iya, iya, jadi ambulance nya jam 10 malem ya? Hmm oke oke.. wassalamualaikum” ayahku menutu percakapannya di dalam telepon genggamnya. Aku yang sedang tidur tadi langsung terbelalak mendengar kata ‘Ambulance’ aku sedikit sensi, akhirnya terucaplah dimulutku.
“kenapa pa pesen ambulance? Buat angkut kakak kerumah sakit ya?” kataku dengan layu.
Ibuku yang mendengar pertanyaanku langsung menghampiri dan mengusap wajahku. Ayahku sedikit terkejut dengan omonganku.
“ya Allah nak, kanapa mikir sampe situ. Papa pesen ambula buat orang tuanya om Jemi di Kayuagung, barusan meninggal mau dibawa ke Palembang. Jangan sembarangan” ujar ibuku sedih. Ayahku langsung memelukku dan berkata, “kakak pasti sehat kok, sudah istirahat lagi di kamar mama papa aja sama lala” aku tersenyum dan menuruti perintah ayahku.
***
Esok harinya aku merasa tubuhku bugar kembali dan merasa rindu akan sahabat dan temanku disekolah. Aku merengek ingin kesekolah, pastinya aku tidak diizinkan. Tapi kulepaskan seribu rayuan gombalku higga aku berhasil membujuk mama untuk memperbolehkanku pergi ke sekolah. Aku tersenyum sumringah. Baru kali ini aku begitu semangat  menuju ke sekolah.
Baru saja tiba di sekolah, Dina langsung merangkulku untuk menunjukkan bahwa ia  merindukanku. Aku tersenyum.
“ta!!!. Sudah sehat?! Aku kangen sama kamu..” teriaknya heboh.
“iya, alhamdulillah, semoga aja ngga kayak minggu-minggu kemaren Cuma 1 hari masuk dalem seminggu..” jawabku dengan energy yang tak kalah darinya.
“iya!! Udah 3 minggu kamu kaya gitu, udahlah, anggep sekolahan punya nenek kamu aja”balasnya. Kami pun tertawa dengan cerianya.
Tiba dikelas, aku melihat sesosok anak laki-laki yang menurutku menjengkelkan. Mempunyai tahi lalat dimana-mana. Kami bertemu pandang, aku merasa muak melihat wajah nya dan pula kulihat raut kebencian dimatanya. Aku pun ingat kejadian bulan lalu yang membuat kami seperti ini.. saling membenci. Andre, itulah namanya.
***
Bel  yang menandakan jam sekolah berakhirpun berbunyi, aku berlari ke kelas IX a, kelas sahabatku sejak pertama kali sekolah disini, Windi. Aku menunggu di depan kelasnya dengan senyum yang lebar. Sekitar 5 menit menunggu, akhirnya ia pun keluar kelas.
“kenapa ta senyumsenyum?” tanyanya dengan wajah heran.
“Ayo ikut aku, ada pertunjukkan di depan sekolah” jawabku bersemangat.
“nah, aku ga bisa sekarang. Aku piket, harus bersihin kelas dulu. Besok ceritain aja tuh pertunjukkan”jawabnya sedikit lesu.
“yahhh. Yaudahlah, bye “ aku pun berbalik badan, tapi aku sangat bersemangat.
Di depan sekolah..
“Ndre, kesini sebentar.” Panggilku kepada seorang anak lelaki bertubuh kurus tinggi yang sebelumnya sangat kusukai itu.
“kenapa?” Pekiknya cuek.
“kesini!!” aku sedikit berteriak mengimbangi bunyi bus kota yang berlalu-lalang di belakangku. Anak itu hanya diam. Akhirnya kuhampiri dia di pagar sekolah tempat ia bersandar. Masih kupasang wajah ramah kepadanya. “Aku mau ngomong!” kataku lagi. “ngomong apa sih? Disini aja” jawabnya cuek. Aku gemas melihat tingkahnya yang menjengkelkan seperti itu. Kuraih tangannya dan kutarik agar ia mengikutiku ke trotoar. Dia hanya menutupi wajahnya dan membentak.
“kenapa sih?! Jangan tarik-tarik! Aku malu! Malu sama Ditha!”. Darahku melaju sampai keotak membuatku benarbenar terbakar emosi.
“oh.. jadi kamu malu? Malu sama Ditha? Jadi kenapa kamu cium pipi aku kemaren kalo kamu malu sama dia?!” akupun membentaknya hingga teman-teman sekolahku maupun adik kelasku melihat kearah kami berdua.
“lah? Aku kan cuma ci…”. Plakkkkkkk! Kulayangkan telapak tanganku beserta kelima jarinya di pipi sebelah kirinya tanpa membiarkan ia menyelesaikan kalimat yang sudah bisa kutebak.
“hah?! Nggak malu lagi kan? Ini baru namanya malu!!” bentakku dengan wajah ganas. Ia diam dengan tangan yang mengelus pipinya.
Semua orang pun berlari menuju kami, mayoritas perempuan menghampiriku untuk menanyakan apa yang sedang terjadi.  Kudengar suara andre berteriak. “Lihat aja nanti! Akan aku balas semuanya!” Pekiknya geram. Akupun membalas, “emang Gua takut?! Dasar banci, jangan nunggu nanti! Sekarang kalo mau bales!?” akupun menantangnya dengan wajah bangga telah memberikan pelajaran kepadanya.
***
“jadi kalo minus dikalikan minus hasilnya? Plus. Baiklah, cukup disini dulu ya pelajaran hari ini. Jangan lupa belajar sedah kelas Sembilan.” Tutup pak hilmi menandakan bahwa jam istirahat sudah tiba. Akupun berdiri bersiap untuk pergi ke kantin ‘Pak Bendot’ untuk membeli snack untuk mengganjal perutku. Baru saja dua langkah aku berjalan, tibatiba kepalaku kembali sakit. Badanku terasa akan rubuh sehingga aku mencoba dengan sigap menarik kursi agar aku bisa duduk. Dina yang yang sudah di pintu kaget dan menghampiriku seakan sudah tahu, apa yang telah terjadi kepadaku. Aku menangis terisak. Dina pun berlari ke ruang guru memberitahukan ke guru tentang diriku, sedangkan teman-teman ku yang lain berbagi tugas merawatku. Dan pada saat itulah aku merasa aku mempunyai teman yang baik disini.
Atul menuju kantin untuk membeli segelas air mineral untukku, Lili menghiburku dengan banyolannya yang meredakan sakitku, sedangkan Risty, memijat-mijat leherku. Tak lama kemudian bu Devi selaku wali kelasku datang dan meraba kepalaku untuk memeriksa temperature badanku. Kulihat dia sedikit terkejut karena panas tubuhku sangat tinggi.
“masih panas badan nita ini. Jam berapa adik nya Nita yang sekolah di MI di jemput biasanya?” Tanya bu Devi.
“jam 12 bu..” jawabku seadanya.
“yasudah sebentar lagi jam 12, tunggu di UKS saja. Langsung pulang ya.” Ujarnya sambil membelai kepalaku.
“iya Bu..” teman-temanku membereskan buku milikku dan dimasukkannya kedalam tasku. Aku pun di bopong keluar kelas untuk pulang. Dan sekali lagi aku berpapasan dengan Andre. Aku tahu ia memperhatikanku hari ini. Tapi, yasudahlah, nasi telah menjadi bubur kepedulianku kepadanya sudah berubah menjadi api kebencian yang sangat mendalam.
Tiba di UKS, aku lihat ada adikku yang sedang duduk di dekat pos satpam melalui jendela dekat ranjang besi tempatku berbaring. Aku memperhatikan tawanya yang lepas sambil bercanda dengan Annisa, sahabatnya. Aku membayangkan, apakah adikku akan tertawa lepas seperti itu jika aku tak ada lagi di dunia ini? Apakah ayah, ibu, kakak, dan abangku dapat bahagia meskipun aku telah menghilang dari kehidupan mereka. Semoga saja mereka bahagia. Tuhan, jagalah mereka.. mereka adalah orang-orang yang sangat kucintai. Aku mungkin takkan bisa melihat senyum mereka lagi, Tuhan, ambillah nyawaku. Aku sudah siap untuk bertemu dengan-Mu.
Tak lama kemudian aku melihat Abangku memarkirkan mobil kami di depan sekolah. Aku bangkit dari tidurku dan bergegas pamit kepada Bu Devi.
“Kalau besok masih sakit, jangan kesekolah dulu. Ngga usah kirim surat tidak apa-apa” pesan bu devi kepada Abangku.
“iya bu, maaf ya bu merepotkan. Assalamualaikum”. Pamit Abangku, kami pun langsung menuju mobil dan pulang kerumah.
***
Sesampainya dirumah aku langsung membasuh wajahku dengan wudhu. Ku tunaikan shalat Dzuhur yang jarang sekali aku laksanakan. Setelah itu kupakaikan mukena bermotif bunga hijau yang dibelikan oleh ayahku pada bulan Ramadhan tahun lalu.
“yaa Allah, ampunilah segala dosaku, dosa ayah dan ibuku, dosa adik kakakku. Jagalah mereka dalam lindunganMu. Ya Allah sembuhkanlah aku dari penyakit yang tidak aku ketahui ini. Sekali lagi yaa Allah ambil lah nyawaku yang memang milik-Mu ini. Kurangilah kecemasan keluargaku atas penyakitku ini. Jika memang benar bahwa aku akan Engkau jemput, aku tunggu hingga 40 hari ini. Jika tidak, berikanlah aku umur yang panjang untuk membahagiakan kedua orang tuaku.. Rabbighfirlii Waliwalidayya warhamhuma kama Rabbayani shagirah. Amin..”. aku mengusap air mata yang telah membasahi pipiku, tanpa kulepas lagi aku terdidur di atas sajadah merah dan masih mengenakan mukena.
***
Makan malam ini lagi-lagi aku harus menelan semangkuk penuh bubur putih yan dibuatkan oleh kak Acha. Aku merasa mual dan akhirnya aku memuntahkannya lagi. Lagi-lagi kakak dan adikku kerepotan membersihkan bekasku itu. Aku menangis dalam diam lagi.
“Tita ini sakit apa sih? Jangan-jangan tumor otak!” nada pertanyaan kakakku ini menunjukkan bahwa ia sudah jenuh mengurusku satu bulan ini. Ibuku langsung melotot dan mencubit paha kak Acha. Melihat kejadian itu, aku langsung tersentak. Aku mulai berfikir perkataan itu ada benarnya. Aku selalu mengeluhkan kepalaku yang sakit. Ataukah aku kanker tulang? Mengingat tulang belakangku yang tak jarang nyeri di waktuwaktu tertentu. Ah sudahlah! Tapi kenapa ibuku seperti itu? Kuingat selama aku sakit hanya satu kali aku diajak berobat menemui dokter. Dan sisanya? Ibuku hanya menebus obat-obatan dari dokter yang sekarang dicampur dengan sedikit obat herbal yang pahit sekali. Ayah. Ada apa dengan diriku ini. Aku mulai berfikir berlebihan.
Untuk kesekian kalinya aku tersenyum kecut. Ibu menghampiriku dengan sebotol air yang di dalamnya direndam beberapa akar-akar herbal yang aku tidak faham apa namanya. Baru kali ini aku melihat air ini selama aku sakit.
“tita hari ini belum minum obat kan? Nih ada obat lagi yang baru. Semoga aja besok titta udah sehat lagi ya sayang. Nih habiskan dalam sekali tarikan nafas.” Ujar ibuku.
Aku hanya menuruti perkataan ibuku.
“Bismillah.”. tak sampai 10 detik aku menghabiskan sebotol air yang ternyata tak pahit ini. Aku tersenyum sumringah bahagia karena akhirnya aku tak meminum obat herbal yang pahit seperti empedu ikan. Aku kembali memakan buburku. Dan ajaibnya aku makan dengan lahap dan tidak memuntahkannya. Setelah itu aku menarik selimutku karena merasa sedikit kedinginan.
***
Aku memasuki pintu gerbang indah berisi orang-orang yang tak kukenali. Tempat ini terlihat begitu indah, tetapi kenapa aku merasakan wangi bunga melati yang bercampur mawar seperti di depan rumahku di ujung hidungku. Aku berjalan sekitar sepuluh langkah ke kanan dan aku melihat orang-orang tua yang sehat tetapi terlihat miskin dan menyedihkan namun mengguratkan wajah yang bahagia. Tempat apa ini? Sepertinya aku tak pernah ke tempat ini. Aku menyentuh bahu seorang lelaki yang sepertinya lebih dari seabad yang sepertinya ku kenali. Tapi aku tak tahu siapa namanya dan dimana kami bertemu. Ia menoleh kepadaku. Aku ingin bertanya ini ada dimana. Tetapi ia langsung meraih tanganku dan mengajakku untuk pergi darisana dan kembali ke gerbang tempat aku masuk kesisni tadi.
Aku hanya tercengang. Dia tidak berbicara sepatah katapun denganku.
“maaf puyang, Tita harus kemana?” tanyaku sedikit merasa sungkan.
Dia hanya tersenyum. Dan mengarahkan tangan nya seperti menunjuk ke arah berlainan dari tempat aku pergi tadi. Aku pun menuruti arah dari tangannya. Aku melihat kucingku sedang menjilati bulu tiga warnanya.
“meng. Kok ada disini?” tanyaku seperti orang bodoh kepada Meng. Dia berdiri dengan keempat kakinya dan beranjak pergi seraya menoleh kepadaku mengisyaratkan aku untuk mengikutinya. Aku mengikutinya, kususuri jalan yang terang dan berkabut ini. Ternyata ini adalah rumahku.
Kumasuki rumahku dan kulihat ayah, ibu, adik, kakak, dan abangku sedang tertidur. Aku merasa lega karena telah kembali kerumah. Aku pun tidur lagi keatas ranjangku.
***
Ibuku memegang keningku ingin memeriksa suhu tubuhku. Aku jadi terbangun.
“ma, tadi Tita jalan-jalan sendirian, tita tersesat. Untung ada kakek yang nunjukkin arah ke tita. Terus ada Meng yang bawa Tita pulang.. Pas tita pulang mama sama papa udah tidur” ceritaku ke mama. Mama hanya mengernyitkan dahi, kebingungan.
“kapan kakak pergi? Dari kemaren sore kamu tidur, bangunnya siang begini, kakak juga belum pulang katanya mau nginep dirumah nenek karena besok ada kuliah pagi. Mimpi niyeee” ledek ibuku seraya kembali kedapur. Aku merasa aneh, sepertinya tadi itu nyata. Aku merasa benarbenar berjalan dengan kaki telanjang. Aku benarbenar pergi ketempat itu. Aku mencari Meng, ternyata dia ada di bawah kasurku sambil menjilat bulunya seperti biasa. Kegendong tubuhnya, kutanya pelan. “meng, tadi aku benarbenar pergi kan?” aku benarbenar bodoh. Berharap meng dapat menjawab. Meng hanya menjilatjilat tanganku, sepertinya Meng menjawab iya. Tapi ah sudahlah~ anggap saja itu benarbenar mimpi.
Aku ke dapur menyusul ibuku dan membantu mengupas bawang. Hingga sore hari aku tak tidur dan tak berbaring. Ajaibnya aku merasa sehat kembali dan benar-benar sehat. Sepertinya ada energy baru didalam tubuhku. Hingga malampun tiba aku tak merasakan sakit yang menghentak tubuhku bahkan aku tak merasa pusing.
Terima kasih ya Allah.
 (Bersambung..)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar