Papa, Maafin Tita,... (2)
Sesampainya
disana, ayahku langsung menaiki sendiri ranjang roda di teras rumah sakit. Ia
berbaring dengan wajah yang mulai lemah. Namun kami kecewa karena sehubungan
akan datangnya Presiden RI lusa seluruh ruangan VIP sudah dikosongkan. Untuk
persiapan jaga-jaga siapa tahu beliau membutuhkan ruangan tersebut. Mengapa
harus seluruh ruangan? Padahal kami lebih membutuhkan ruangan tersebut. Satu
jam lebih ibuku mencari ruangan yang kosong, syukurnya kami masih diberi jalan
oleh Allah SWT, ayahku mendapatkan ruangan setelah salah satu pasien boleh
dipulangkan pada malam itu. Aku pun disuruh untuk pulang kerumah.
Palembang,
22 Maret 2009
Pagi – pagi
sekali aku membangunkan abang untuk mengantarkan perlengkapan ayah dan ibuku di
rumahsakit. Susah sekali membangunkannya.
“Bang, ayo
bangun. Udah siang, mama minta di anterin pakaian sama termos..” aku
menggoyang-goyangkan badannya. Abang hanya membuka mata sedikit dan kembali
menarik selimutnya lagi. Namun taka ma aku mengguncang tubuhnya, abangpun
terbangun.
Sesampainya
dirumah sakit aku mendapati nenek (ibu dari ayahku) sedang duduk di ruang
tunggu pendaftaran pasien.
“nek, kapan
nyampe?” aku menyalaminya.
“sudah lama,
dianter om agik. Kamu sudah makan belom?” nenekku bertanya.
“belom nek”.
Aku terdiam, aku memandangi wajah nenekku yang terlihat sedih. Memang nenekku
ini cengeng. Namun wajar saja begitu, ibu mana yang biasa saja saat melihat
anaknya sedang sakit. Aku menahan jatuhnya air mata yng sudah menyerbu ujung
mataku. Kupeluk nenek dengan erat.
“Tenang aja,
besok papa kamu masuk ruang ICU, pasti papa kamu sembuh, papa kamu nggakpapa.” Suaranya
bergetar, namun sebagai seroang nenek, ia mencoba menghibur, padahal seharusnya
ia menghibur dirinya sendiri.
“nenek udah
masuk belum keruangan papa?” tanyaku.
“sudah kok
sayang” jawabnya dengan senyum.
“aku mau
masuk, boleh ngga ya nek?”
“boleh kok
tuh diruangan nomor 2”
“yaudah,
tita ke tempat papa dulu yah nek” aku berpamit.
Saat aku
membuka pintu ruangan ayahku, kulihat ayahku sedang disuapi oleh ibuku. Saat ia
melihatku ia langsung tersenyum menunjukkan gigi-giginya yang mulai menghitam
karena rokok. Aku bahagia melihat ayahku tersenyum seperti itu. Berarti ayahku
memang sehat dan tak ada yang salah dari ayahku kecuali penyakit Diabetes
Mellitus yang sudah diidapnya 10 tahun terakhir.
“eh anak
papa udah datang, sini nak..”ayahku memanggilku. Aku sedikit berlari dan
memegang tangan ayahku. Ahh, hangat sekali tangannya. Kehangantan tangan seorang
ayah yang bersahaja.
“gimana pah?
Udah sehat?” aku menanyakan keadaannya.
“Alhamdulillah
sayang, hari ini pindah ruangan ke ICU” jawabnya dengan senyum yang sangat
menghiburku.
Tak lama
kemudian seorang dokter datang memeriksa keadaannya dan menyuntikkan cairan di
perut ayahku yang belakangan aku ketahui itu adalah cairan bernama insulin.
“ayo bapak
sekarang pindah ke ICU ya, sanggup nggak turunke kursi roda?” dokter bertanya
kepada ayahku.
“bisa kok
dok, masih sehat kok biar kurus begini jangan diremehkan” jawab ayahku sambil
memamerkan otot nya yang mini. Sang dokter tertawa melihatnya. Ayahku langsung
turun dari ranjang dan menduduki kursi roda yang dibawakan sorang perawat pria.
Setibanya di
ruang ICU, kami tidak diperbolehkan masuk kecuali ibuku. Kami ber-empat kecewa
dan kamipun disuruh ibuku untuk mencari makan siang. Kami pergi ke rumah makan
padang yang terletak di area rumah sakit tersebut.
Setelah
makan dan membeli makanan untuk ibuku, kami kembali keruangan ayahku. Setibanya
disana kami diperbolehkan masuk karena dokter jaga sedang keluar.
Aku melihat
ayahku yang sedang terpejam, aku teringat pada saat ayahku mengajak untuk
pindah ke kota Lubuklinggau.
***
Lubuklinggau,
19 Maret 2015
Aku memilih lagu yang menggambarkan suasana
hatiku sekarang. Kubuka folder-folder yang menyembunyikan lagu itu. Aku pun
mengklik nya.
Ayah
dengarlah..
Betapa
sesungguhnya kumencintaimu.
Kan
kubuktikan kumampu penuhi maumu.
(Gita Gutawa ft. Ada Band-Ayah)
Lagi-lagi dibulan yang sama setiap tahunnya,
aku mendengarkan lagu ini sambil menahan gejolak di ujung emosi kesedihanku.
Lagu ini sudah menjadi lagu wajib bulan Maret-ku. Ini semua karena, Aku rindu
ayah.
***
Palembang,
26 Maret 2009
“mau kemana
ta?” Fito yang dari tadi mengikutiku akhirnya bertanya.
“kerumah
sakit” aku tetap cetus terhadapnya karena aku merasa tak nyaman karena
baru-baru ini dia mengungkapkan perasaannya.
“daag, yah,
udah nyampe nih.. hatihati ya..” pamitku seraya melambaikan tangan kepada Fito.
“iya,
hati-hati ya cantikku..” ia tersenyum membalas lambaian tanganku. Tak lama aku
berjalan, ku menoleh ke tempatnya berdiri tadi. Ia sudah diseberang jalan
menaiki bus kertapati-perumnas yanag biasa ia naiki.
“bocah aneh,
dari sekolah hingga rumah sakit yang berjarak 1kilometer membuntutiku. Stress “
gumamku sedikit menghinanya, tapi aku menyukai jika ada orang yang seperti itu.
***
Ayahku
sedang memakan Bakso yang disuapi oleh ibuku. Sebenarnya makanan itu tak
diperbolehkan. Tapi ayahku tak berhenti bertanya “kapan beli bakso Laapangan
Tembak nya?” seperti orang yang sedang mengidam. Karena ingin cepat, ibuku
hanya membelikan bakso yang dijual disekitar rumahsakit.
“Enak pah?”
Tanya abangku.
“nggak.
Enakan bakso Lapangan Tembak..” jawab ayahku dengan mulut yang penuh. Aku
tersenyum.
“Hweleh,
nggak enak tapi habis….” Aku sedikit mengejek.
“hehe. Dari
pada nggak ada, terus mubadzir..” jawab ayahku seraya tersenyum ala nyengir
kuda yang jenaka.
“pah, kalau
Tita sekolah disana, papa mau beliin Tita mobil?” aku bertanya dengan raguragu.
“hmm. Kok
mobil? Masih kecil juga.” Ayahkku mengernyitkan alis.
“nggak
sekarang, tapi nanti kalo Tita udah dapet KTP. Ya pah?” Jawab ku dengan serius.
“ah, masih
lama juga. Tiga tahun lagi kan?, sippp boss.” Ayahku menyetujui.
“terus Tita
boleh kan kuliah di KL” tanyaku lagi untuk memastikan ajakan ayahku.
“oke gampang
kalo gitu” ia tersenyum ceria.
Aku akhirnya
membuat keputusan yang kulakukan demi membuat ayahku senang. Semoga ayahku
cepat sembuh. Kumemandang wajahnya yang pucat dan mulai berkeriput. Raut wajah
ibuku yang juga kelelahan, tak luput dari pandanganku. Ayah, Ibu sehatlah selalu. Kuingin melihat wajah kalian yang bangga
pada saat aku merengkuh gelar Dokter jantung. Aku cinta kalian..
“senin besok
papa pindah ke kamar kelas satu ya. Supaya lebih enak tementemen jenguk.”
Ayahku memberitahu. Aku tersenyum, berarti aku bisa dengan leluasa menginap
dirumahsakit menemani ayah dan ibuku.
“ta, sms-in
kak acha, bilang bawa pakaian sekolah kamu supaya besok bisa sekolahnya dari
rumah sakit.” Ujar ibuku.
“oke mam”
aku buru-buru mengetik pesan sesuai dengan perintah ibuku berburu dengan waktu.
Sejam
kemudian, kak acha tiba di rumah sakit bersama lala dan abang.
“mana baju
tita?” aku membongkar tas yang berisi pakaian yang dibawa kak acha.
“ngga
ketemu, baju kurung kamu dimana sih?” kak acha menjawab sedikit bingung.
“lha? Jadi
baju tita ngga dibawa?” aku merajuk dan cemberut. Lansung pergi keluar dari
ruang ICU.
Kudengar
dari kejauhan ibuku mengomeli kak acha. Dia hanya terdiam. Aku benarbenar kesal
saat itu. Entah hari itu aku sangat
ingin menemani ayahku dirumah sakit. Aku duduk di pinggir tangga dekat
patung rahim di tengah-dari rumah sakit tersebut.
Handphone ku
bordering, telepon masuk dari ibuku.
“dimana ta? Pulang gih sama abang, udah sore
ini..” kata ibuku dari seberang telepon.
“iya mam, “
aku terkulai lesu, rasanya biarkanlah aku tak usah sekolah besok.
Tapi ayahku
pasti tidak suka melihatku bolos sekolah.
Aku memasuki
ruangan itu lagi. Ayahku sedang tidur. Aku melihat baru kali ini selama 5 hari
dirumah sakit melihatnya tidur dengan pulas. Tak tega membangunkannya, aku
hanya mengecup keningnya. Hangat sekali kepalanya. Ayahku pasti hanya demam,
aku menenangkan diriku sendiri. Setelah berpamitan dengan ibuku, akupun pulang
bersama abang.
“besok
langsung dibawa aja pakaian pramukanya, jadi bisa nginep dek,” sarannya sambil
mengendalikan roda didepannya.
“iya bang,
besok anter yah sekolahnya..”
“bangunin
pagi aja.” Sahutnya lagi. Hening.. Aku tahu abangku ini juga sangat cemas
dengan keadaan ayahku, karena ini bukan penyakit yang main-main. Dibalik
wajahnya yang menyeramkan dan cuek, tersirat kasih sayang yang siap
diluapkannya untuk kami kapan saja. Tetapi, andai saja abangku ini sudah
berfikir dewasa, mungkin dia bukan menjadi kakak tertua yang seperti ini.
Tak terasa
kamipun sampai dirumah sekitar pukul tujuh malam. Kami langsung mengunci diri
di kamar masing-masing. Tak lama ia memanggilku.
“dek, abang
tidur di kamar mama papa ya.”
“yaa,,
terserah” abangku langsung mendengkur,
dasar muka bantal. Hahaha. Aku mencari diary Barbie yang dibelikan oleh kak
acha dan kak maya pada ulangtahunku yang lalu. Kucurahkan segala kegiatanku,
bahkan tentang kekesalanku dengan kak acha beberapa hari ini dan tertidur… huh,
beruntungnya lala dan kak acha bisa menginap disana.
Palembang,
27 Maret 2009
Pukul 03:00
wib.
Aku merasa leherku tercekik.
Ayah , Ibu tolong aku!!
Aku tak bisa bernafas.
Ada apa denganku? Aku sedang tidur terlelap.
Apakah ada serangga yang masuk tenggorokanku?
Nafasku terasa tak sampai ke leher lagi.
Aku
terbatuk-batuk. Sayup-sayup setengah tersadar aku mendengar ada seseorang yang
mengetuk pintu rumahku. Tapi harus kuabaikan karena gatal ditenggorokan ini tak
dapat kutolerir. Makin lama suara ketukan itu merambah ke jendela rumah,
sepertinya ada yang gawat. Aku mulai benar-benar terbangun dan langsung berlari
ke depan pintu, jantungku brdebar seolah melarangku membuka pintu. Kulihat adik
ayahku menempelkan wajahnya dengan wajah syok.
Ada apa ini?
Semoga saja hanya karena om-ku ini ingin
menemani kami dirumah,
Tetapi, ini jam 4 subuh.. mustahil.
Akhirnya
kubukakan pintu,
“kenapa om?”
aku merasa tegang menebak-nebak situasi apa yang akan kuhadapi semenit kedepan.
“PAPA
MENINGGAL, Ta,!” ia menjawab pertanyaanku dengan singkat, sebuah kata yang
takkan pernah ingin kudengar. Aku terpaku. Kuketuk pintu kamar ayah dan ibuku
tempat abang tidur, sangat sulit kubangunkan. Aku tendang pintu itu, dan abang
ku keluar dengan wajah masih mengantuk.
“kenapa dek?
Mau sekolah?” dia bertanya setangah tak sadar.
Aku langsung
memeluk abang, dan ia terbelalak saat aku dan om-ku menyatakan bahwa.
“PAPA
MENINGGAL!” air mata yang sebelumnya kubendung, tak tahan lagi untuk berjatuhan
mewakili kehancuran hatiku. Aku lemas, terasa kaki ini tak mempunyai saraf dan
tulang. Semampuku aku berjalan ke rumah tetanggaku yang merupakan ketua RT
setempat sekaligus sahabat ayahku. Aku tak memedulikan abang yang sudah tak
jelas kondisinya bersama tetangga lain yang mendengar teriakanku sebelumnya.
Aku kembali
menggedor-gedor pintu dengan tak sabar, tak lam kemudian kak Edi, anak Pak RT
yang juga teman abangku dan juga kami anggap kaluarga membukakan pintu. Aku
langsung memeluknya pula seperti aku memeluk abangku. Hatiku sudah tak karuan
membayangkan wajah ayahku yang sudah kaku tanpa senyumnya lagi. Mengapa bukan
aku yang Engkau ambil yaa Allah. Tukar aku, tolong tukar aku! Ini tak adil, ini
benar-benar tak adil!! Aku memukul-mukul dadaku yang terasa sesak. Kak Edi dan
ayah ibunya memboyongkku kembali kerumah dan menaikkanku ke mobil. Aku tak bisa
menghentikan air mataku yang kelenjarnya mungkin sudah pecah.
Aku hanya
menangis di dalam mobil yang aku tak tahu siapa yang mengemudikannya, dan tanpa
sadar aku sudah dirumah sakit dan berlari
keruangan ayahku kemarin bersama abang. Aku merasa semua ini mimpi karena
merasa tubuhku melayang dan berlari tanpa tenaga.
Di depan
patung rahim tempat aku duduk kemarin aku berhenti berlari karena melihat kak
acha sedang menangis, ya Tuhan, kak Acha menangis, berarti ayahku memang sudah
meninggal. Tubuhku lunglai melihat airmata yang jatuh dari kedua mata ibuku
yang cantik, apakah benar ibuku menjadi seorang janda. Mengapa dokter kemarin
berkata ayahku sudah sehat? Berarti mereka berbohong!
Ibuku
memeluk wajahku yang membengkak karena menangis, menciumi seluruh wajahku, lala
memegang tanganku dengan wajah menangis tetapi bingung. Apa kesalahan kami
sehingga ayahku diambil begitu cepat? Aku tak bisa berhenti menyalahkan Tuhan.
Kak acha yang dipeluk oleh abang seraya memukuli dadanya karena marah menangis
sejadijadinya. Kepedihan malam ini, sejarah yang kan terukir selamanya.
Kami
berjalan ke ruang ICU, karena ayahku belum keluar dari sana. Aku membuka tirai
pembatas di sekeliling ayahku. Kulihat nenek yang sudah menangis tak karuan
memuku-mukul kakinya yang renta. Sangat pedih melihatnya. Orang tua mana yang
tidak pedih melihat anaknya pergi.
Ayahku
terbungkus kain jarik batik yang
kugunakan malam kemarin untuk melindungiku dari dingin. Ayahku berseri
tersenyum dengan tampan hari ini. Kucium pipinya. Ayahku tak wangi seperti
kemarin, ia sudah berbau kapur barus. Tapi tetap kuciumi ia dengan seluruh
wajahku. Ayahku dingin sekali. Kupegang kumisnya yang menjadi favoritku dengan
harapan ia akan menggerakkan bibirnya seperti saat aku menarik kumisnya saat ia
masih bernyawa. Aku masih berharap ia akan bangun. Dan memelukku seperti aku
masih kecil dahulu. Ternyata sudah lama aku tak memeluk ayahku.
Lubuklinggau,
31 Maret 2015
Dear papa,
Kakak menangis lagi hari ini, maafin menjadi
anak yang cengeng.
Maafin Tita yang nggak bisa menjadi seseorang
yang pernah kita cita-citakan bersama.
Maafin Tita yang nggak bisa jaga mama, adik,
abang dan kak acha.
Maafin Tita yang nggak bisa jaga diri
sendiri, maafin Tita yang nggak bisa dibanggakan,
Papa bahagia kan disana? Melihat kami disini
yang selalu ingat dan rindu papa?
Tita masih ingat setiap detail saat papa
masih ada, setiap momen kita bersama, wajah papa dirumah sakit, wajah papa yang
membeku, pakaian favorit papa, bahkan, saat papa dikebumikan, makasih ya pa,
jadi inspirasi terbesar di hidup kami.
Sekarang kakak sudah gemuk, lala juga sudah
kaya kingkong gedenya,
Mama nggak kurus lagi seperti setahun setelah
papa pergi, kami sudah bisa menerima keadaan tanpa papa meskipun semua langkah
kami masih terkenang tentang papa.
Makasih ya pa, ngobatin kangen kakak,
Kemarin kakak mimpi papa pulang, dengan
kemeja putih bersih seperti baru pulang kerja dulu. Papa ketawa ketiwi sama
kami dan mencium cucu perempuan papa yang sangat cantik, yaitu anak abang,
Aulia namanya. Wajah papa kemarin ganteng banget loh, pokoknya rano karno kalah
deh, :*kami semua cinta papa, tolong berbahagialah di alam sana,
Tidur yang nyenyak dan mimpi yang indah, dan
semoga ditempatkan yang layak disisi-Nya ya pa.