Translate

Sabtu, 18 April 2015

cerbung : halo Kehidupan

Papa, Maafin Tita,... (2)


Sesampainya disana, ayahku langsung menaiki sendiri ranjang roda di teras rumah sakit. Ia berbaring dengan wajah yang mulai lemah. Namun kami kecewa karena sehubungan akan datangnya Presiden RI lusa seluruh ruangan VIP sudah dikosongkan. Untuk persiapan jaga-jaga siapa tahu beliau membutuhkan ruangan tersebut. Mengapa harus seluruh ruangan? Padahal kami lebih membutuhkan ruangan tersebut. Satu jam lebih ibuku mencari ruangan yang kosong, syukurnya kami masih diberi jalan oleh Allah SWT, ayahku mendapatkan ruangan setelah salah satu pasien boleh dipulangkan pada malam itu. Aku pun disuruh untuk pulang kerumah.
Palembang, 22 Maret 2009
Pagi – pagi sekali aku membangunkan abang untuk mengantarkan perlengkapan ayah dan ibuku di rumahsakit. Susah sekali membangunkannya.
“Bang, ayo bangun. Udah siang, mama minta di anterin pakaian sama termos..” aku menggoyang-goyangkan badannya. Abang hanya membuka mata sedikit dan kembali menarik selimutnya lagi. Namun taka ma aku mengguncang tubuhnya, abangpun terbangun.
Sesampainya dirumah sakit aku mendapati nenek (ibu dari ayahku) sedang duduk di ruang tunggu pendaftaran pasien.
“nek, kapan nyampe?” aku menyalaminya.
“sudah lama, dianter om agik. Kamu sudah makan belom?” nenekku bertanya.
“belom nek”. Aku terdiam, aku memandangi wajah nenekku yang terlihat sedih. Memang nenekku ini cengeng. Namun wajar saja begitu, ibu mana yang biasa saja saat melihat anaknya sedang sakit. Aku menahan jatuhnya air mata yng sudah menyerbu ujung mataku. Kupeluk nenek dengan erat.
“Tenang aja, besok papa kamu masuk ruang ICU, pasti papa kamu sembuh, papa kamu nggakpapa.” Suaranya bergetar, namun sebagai seroang nenek, ia mencoba menghibur, padahal seharusnya ia menghibur dirinya sendiri.
“nenek udah masuk belum keruangan papa?” tanyaku.
“sudah kok sayang” jawabnya dengan senyum.
“aku mau masuk, boleh ngga ya nek?”
“boleh kok tuh diruangan nomor 2”
“yaudah, tita ke tempat papa dulu yah nek” aku berpamit.
Saat aku membuka pintu ruangan ayahku, kulihat ayahku sedang disuapi oleh ibuku. Saat ia melihatku ia langsung tersenyum menunjukkan gigi-giginya yang mulai menghitam karena rokok. Aku bahagia melihat ayahku tersenyum seperti itu. Berarti ayahku memang sehat dan tak ada yang salah dari ayahku kecuali penyakit Diabetes Mellitus yang sudah diidapnya 10 tahun terakhir.
“eh anak papa udah datang, sini nak..”ayahku memanggilku. Aku sedikit berlari dan memegang tangan ayahku. Ahh, hangat sekali tangannya. Kehangantan tangan seorang ayah yang bersahaja.
“gimana pah? Udah sehat?” aku menanyakan keadaannya.
“Alhamdulillah sayang, hari ini pindah ruangan ke ICU” jawabnya dengan senyum yang sangat menghiburku.
Tak lama kemudian seorang dokter datang memeriksa keadaannya dan menyuntikkan cairan di perut ayahku yang belakangan aku ketahui itu adalah cairan bernama insulin.
“ayo bapak sekarang pindah ke ICU ya, sanggup nggak turunke kursi roda?” dokter bertanya kepada ayahku.
“bisa kok dok, masih sehat kok biar kurus begini jangan diremehkan” jawab ayahku sambil memamerkan otot nya yang mini. Sang dokter tertawa melihatnya. Ayahku langsung turun dari ranjang dan menduduki kursi roda yang dibawakan sorang perawat pria.
Setibanya di ruang ICU, kami tidak diperbolehkan masuk kecuali ibuku. Kami ber-empat kecewa dan kamipun disuruh ibuku untuk mencari makan siang. Kami pergi ke rumah makan padang yang terletak di area rumah sakit tersebut.
Setelah makan dan membeli makanan untuk ibuku, kami kembali keruangan ayahku. Setibanya disana kami diperbolehkan masuk karena dokter jaga sedang keluar.
Aku melihat ayahku yang sedang terpejam, aku teringat pada saat ayahku mengajak untuk pindah ke kota Lubuklinggau.
***
Lubuklinggau, 19 Maret 2015
Aku memilih lagu yang menggambarkan suasana hatiku sekarang. Kubuka folder-folder yang menyembunyikan lagu itu. Aku pun mengklik nya.
Ayah dengarlah..
Betapa sesungguhnya kumencintaimu.
Kan kubuktikan kumampu penuhi maumu.
(Gita Gutawa ft. Ada Band-Ayah)
Lagi-lagi dibulan yang sama setiap tahunnya, aku mendengarkan lagu ini sambil menahan gejolak di ujung emosi kesedihanku. Lagu ini sudah menjadi lagu wajib bulan Maret-ku. Ini semua karena, Aku rindu ayah.
***
Palembang, 26 Maret 2009
“mau kemana ta?” Fito yang dari tadi mengikutiku akhirnya bertanya.
“kerumah sakit” aku tetap cetus terhadapnya karena aku merasa tak nyaman karena baru-baru ini dia mengungkapkan perasaannya.
“daag, yah, udah nyampe nih.. hatihati ya..” pamitku seraya melambaikan tangan kepada Fito.
“iya, hati-hati ya cantikku..” ia tersenyum membalas lambaian tanganku. Tak lama aku berjalan, ku menoleh ke tempatnya berdiri tadi. Ia sudah diseberang jalan menaiki bus kertapati-perumnas yanag biasa ia naiki.
“bocah aneh, dari sekolah hingga rumah sakit yang berjarak 1kilometer membuntutiku. Stress “ gumamku sedikit menghinanya, tapi aku menyukai jika ada orang yang seperti itu.
***
Ayahku sedang memakan Bakso yang disuapi oleh ibuku. Sebenarnya makanan itu tak diperbolehkan. Tapi ayahku tak berhenti bertanya “kapan beli bakso Laapangan Tembak nya?” seperti orang yang sedang mengidam. Karena ingin cepat, ibuku hanya membelikan bakso yang dijual disekitar rumahsakit.
“Enak pah?” Tanya abangku.
“nggak. Enakan bakso Lapangan Tembak..” jawab ayahku dengan mulut yang penuh. Aku tersenyum.
“Hweleh, nggak enak tapi habis….” Aku sedikit mengejek.
“hehe. Dari pada nggak ada, terus mubadzir..” jawab ayahku seraya tersenyum ala nyengir kuda yang jenaka.
“pah, kalau Tita sekolah disana, papa mau beliin Tita mobil?” aku bertanya dengan raguragu.
“hmm. Kok mobil? Masih kecil juga.” Ayahkku mengernyitkan alis.
“nggak sekarang, tapi nanti kalo Tita udah dapet KTP. Ya pah?” Jawab ku dengan serius.
“ah, masih lama juga. Tiga tahun lagi kan?, sippp boss.” Ayahku menyetujui.
“terus Tita boleh kan kuliah di KL” tanyaku lagi untuk memastikan ajakan ayahku.
“oke gampang kalo gitu” ia tersenyum ceria.
Aku akhirnya membuat keputusan yang kulakukan demi membuat ayahku senang. Semoga ayahku cepat sembuh. Kumemandang wajahnya yang pucat dan mulai berkeriput. Raut wajah ibuku yang juga kelelahan, tak luput dari pandanganku. Ayah, Ibu sehatlah selalu. Kuingin melihat wajah kalian yang bangga pada saat aku merengkuh gelar Dokter jantung. Aku cinta kalian..
“senin besok papa pindah ke kamar kelas satu ya. Supaya lebih enak tementemen jenguk.” Ayahku memberitahu. Aku tersenyum, berarti aku bisa dengan leluasa menginap dirumahsakit menemani ayah dan ibuku.
“ta, sms-in kak acha, bilang bawa pakaian sekolah kamu supaya besok bisa sekolahnya dari rumah sakit.” Ujar ibuku.
“oke mam” aku buru-buru mengetik pesan sesuai dengan perintah ibuku berburu dengan waktu.
Sejam kemudian, kak acha tiba di rumah sakit bersama lala dan abang.
“mana baju tita?” aku membongkar tas yang berisi pakaian yang dibawa kak acha.
“ngga ketemu, baju kurung kamu dimana sih?” kak acha menjawab sedikit bingung.
“lha? Jadi baju tita ngga dibawa?” aku merajuk dan cemberut. Lansung pergi keluar dari ruang ICU.
Kudengar dari kejauhan ibuku mengomeli kak acha. Dia hanya terdiam. Aku benarbenar kesal saat itu. Entah hari itu aku sangat  ingin menemani ayahku dirumah sakit. Aku duduk di pinggir tangga dekat patung rahim di tengah-dari rumah sakit tersebut.
Handphone ku bordering, telepon masuk dari ibuku.
“dimana ta? Pulang gih sama abang, udah sore ini..” kata ibuku dari seberang telepon.
“iya mam, “ aku terkulai lesu, rasanya biarkanlah aku tak usah sekolah besok.
Tapi ayahku pasti tidak suka melihatku bolos sekolah.
Aku memasuki ruangan itu lagi. Ayahku sedang tidur. Aku melihat baru kali ini selama 5 hari dirumah sakit melihatnya tidur dengan pulas. Tak tega membangunkannya, aku hanya mengecup keningnya. Hangat sekali kepalanya. Ayahku pasti hanya demam, aku menenangkan diriku sendiri. Setelah berpamitan dengan ibuku, akupun pulang bersama abang.
“besok langsung dibawa aja pakaian pramukanya, jadi bisa nginep dek,” sarannya sambil mengendalikan roda didepannya.
“iya bang, besok anter yah sekolahnya..”
“bangunin pagi aja.” Sahutnya lagi. Hening.. Aku tahu abangku ini juga sangat cemas dengan keadaan ayahku, karena ini bukan penyakit yang main-main. Dibalik wajahnya yang menyeramkan dan cuek, tersirat kasih sayang yang siap diluapkannya untuk kami kapan saja. Tetapi, andai saja abangku ini sudah berfikir dewasa, mungkin dia bukan menjadi kakak tertua yang seperti ini.
Tak terasa kamipun sampai dirumah sekitar pukul tujuh malam. Kami langsung mengunci diri di kamar masing-masing. Tak lama ia memanggilku.
“dek, abang tidur di kamar mama papa ya.”
“yaa,, terserah”  abangku langsung mendengkur, dasar muka bantal. Hahaha. Aku mencari diary Barbie yang dibelikan oleh kak acha dan kak maya pada ulangtahunku yang lalu. Kucurahkan segala kegiatanku, bahkan tentang kekesalanku dengan kak acha beberapa hari ini dan tertidur… huh, beruntungnya lala dan kak acha bisa menginap disana.
Palembang, 27 Maret 2009
Pukul 03:00 wib.
Aku merasa leherku tercekik.
Ayah , Ibu tolong aku!!
Aku tak bisa bernafas.
Ada apa denganku? Aku sedang tidur terlelap.
Apakah ada serangga yang masuk tenggorokanku?
Nafasku terasa tak sampai ke leher lagi.
Aku terbatuk-batuk. Sayup-sayup setengah tersadar aku mendengar ada seseorang yang mengetuk pintu rumahku. Tapi harus kuabaikan karena gatal ditenggorokan ini tak dapat kutolerir. Makin lama suara ketukan itu merambah ke jendela rumah, sepertinya ada yang gawat. Aku mulai benar-benar terbangun dan langsung berlari ke depan pintu, jantungku brdebar seolah melarangku membuka pintu. Kulihat adik ayahku menempelkan wajahnya dengan wajah syok.
Ada apa ini?
Semoga saja hanya karena om-ku ini ingin menemani kami dirumah,
Tetapi, ini jam 4 subuh.. mustahil.
Akhirnya kubukakan pintu,
“kenapa om?” aku merasa tegang menebak-nebak situasi apa yang akan kuhadapi semenit kedepan.
“PAPA MENINGGAL, Ta,!” ia menjawab pertanyaanku dengan singkat, sebuah kata yang takkan pernah ingin kudengar. Aku terpaku. Kuketuk pintu kamar ayah dan ibuku tempat abang tidur, sangat sulit kubangunkan. Aku tendang pintu itu, dan abang ku keluar dengan wajah masih mengantuk.
“kenapa dek? Mau sekolah?” dia bertanya setangah tak sadar.
Aku langsung memeluk abang, dan ia terbelalak saat aku dan om-ku menyatakan bahwa.
“PAPA MENINGGAL!” air mata yang sebelumnya kubendung, tak tahan lagi untuk berjatuhan mewakili kehancuran hatiku. Aku lemas, terasa kaki ini tak mempunyai saraf dan tulang. Semampuku aku berjalan ke rumah tetanggaku yang merupakan ketua RT setempat sekaligus sahabat ayahku. Aku tak memedulikan abang yang sudah tak jelas kondisinya bersama tetangga lain yang mendengar teriakanku sebelumnya.
Aku kembali menggedor-gedor pintu dengan tak sabar, tak lam kemudian kak Edi, anak Pak RT yang juga teman abangku dan juga kami anggap kaluarga membukakan pintu. Aku langsung memeluknya pula seperti aku memeluk abangku. Hatiku sudah tak karuan membayangkan wajah ayahku yang sudah kaku tanpa senyumnya lagi. Mengapa bukan aku yang Engkau ambil yaa Allah. Tukar aku, tolong tukar aku! Ini tak adil, ini benar-benar tak adil!! Aku memukul-mukul dadaku yang terasa sesak. Kak Edi dan ayah ibunya memboyongkku kembali kerumah dan menaikkanku ke mobil. Aku tak bisa menghentikan air mataku yang kelenjarnya mungkin sudah pecah.
Aku hanya menangis di dalam mobil yang aku tak tahu siapa yang mengemudikannya, dan tanpa sadar aku sudah dirumah sakit dan berlari  keruangan ayahku kemarin bersama abang. Aku merasa semua ini mimpi karena merasa tubuhku melayang dan berlari tanpa tenaga.
Di depan patung rahim tempat aku duduk kemarin aku berhenti berlari karena melihat kak acha sedang menangis, ya Tuhan, kak Acha menangis, berarti ayahku memang sudah meninggal. Tubuhku lunglai melihat airmata yang jatuh dari kedua mata ibuku yang cantik, apakah benar ibuku menjadi seorang janda. Mengapa dokter kemarin berkata ayahku sudah sehat? Berarti mereka berbohong!
Ibuku memeluk wajahku yang membengkak karena menangis, menciumi seluruh wajahku, lala memegang tanganku dengan wajah menangis tetapi bingung. Apa kesalahan kami sehingga ayahku diambil begitu cepat? Aku tak bisa berhenti menyalahkan Tuhan. Kak acha yang dipeluk oleh abang seraya memukuli dadanya karena marah menangis sejadijadinya. Kepedihan malam ini, sejarah yang kan terukir selamanya.
Kami berjalan ke ruang ICU, karena ayahku belum keluar dari sana. Aku membuka tirai pembatas di sekeliling ayahku. Kulihat nenek yang sudah menangis tak karuan memuku-mukul kakinya yang renta. Sangat pedih melihatnya. Orang tua mana yang tidak pedih melihat anaknya pergi.
Ayahku terbungkus kain jarik batik yang kugunakan malam kemarin untuk melindungiku dari dingin. Ayahku berseri tersenyum dengan tampan hari ini. Kucium pipinya. Ayahku tak wangi seperti kemarin, ia sudah berbau kapur barus. Tapi tetap kuciumi ia dengan seluruh wajahku. Ayahku dingin sekali. Kupegang kumisnya yang menjadi favoritku dengan harapan ia akan menggerakkan bibirnya seperti saat aku menarik kumisnya saat ia masih bernyawa. Aku masih berharap ia akan bangun. Dan memelukku seperti aku masih kecil dahulu. Ternyata sudah lama aku tak memeluk ayahku.
Lubuklinggau, 31 Maret 2015
Dear papa,
Kakak menangis lagi hari ini, maafin menjadi anak yang cengeng.
Maafin Tita yang nggak bisa menjadi seseorang yang pernah kita cita-citakan bersama.
Maafin Tita yang nggak bisa jaga mama, adik, abang dan kak acha.
Maafin Tita yang nggak bisa jaga diri sendiri, maafin Tita yang nggak bisa dibanggakan,
Papa bahagia kan disana? Melihat kami disini yang selalu ingat dan rindu papa?
Tita masih ingat setiap detail saat papa masih ada, setiap momen kita bersama, wajah papa dirumah sakit, wajah papa yang membeku, pakaian favorit papa, bahkan, saat papa dikebumikan, makasih ya pa, jadi inspirasi terbesar di hidup kami.
Sekarang kakak sudah gemuk, lala juga sudah kaya kingkong gedenya,
Mama nggak kurus lagi seperti setahun setelah papa pergi, kami sudah bisa menerima keadaan tanpa papa meskipun semua langkah kami masih terkenang tentang papa.
Makasih ya pa, ngobatin kangen kakak,
Kemarin kakak mimpi papa pulang, dengan kemeja putih bersih seperti baru pulang kerja dulu. Papa ketawa ketiwi sama kami dan mencium cucu perempuan papa yang sangat cantik, yaitu anak abang, Aulia namanya. Wajah papa kemarin ganteng banget loh, pokoknya rano karno kalah deh, :*kami semua cinta papa, tolong berbahagialah di alam sana,
Tidur yang nyenyak dan mimpi yang indah, dan semoga ditempatkan yang layak disisi-Nya ya pa.

Rabu, 08 April 2015

poem today : Real heroes of my life


Mom, talk with me everyday everytime
Although I just smiling, laughing, crying or saying “ga.gi.gu”
Dad, teach me to walking step by step..
Although I just falling, crying, then give up.
That’s when I was a baby..

Dad, warned me when I playing fire,
But, I didn’t pay attention at him and just playing.
Mom, called out if I go to dangerous areas.
But, next day, I’ll do the same, again and again.
That’s when I was a child.

I throwing the glass and make it broken
Mom, you just said “don’t touch ‘em” and keep me from that’s shards
Dad said “close your phone and goes to study hard!”
I will bark out, beat the door and close my ear under the pillows.
At the next day, I’d sullen at you, but you’ll give me a bright smile.
That’s when I was a teenager.

When dad left us, I crying for any nights
I looks at my mom, there were tears in her eyes.
But she always try to smiling for me, never give up to care with us.
I can’t change my bad character through I make you disappointed.
You’ll crying in all night long under my character.

Mom, you’re my hero, please always be health, and long life, give me your smile.
Dad, you’re my inspiration, hopefully you will get the better place with God.

Forgive all my mistakes. I love both of you.. :*

                                                          By: Janneta Ruwani Tri Ayu Palingga

Rabu, 25 Maret 2015

sample of Sonnets


Sample of Sonnets :

‘til the End of World

Can’t call your name, I call you My Honey(a)

Gave my heart I will never be waver(b)

Remember when you stand as a wooer(b)

Scream to call me with all ability(a)

I can’t change all your heart with much money(a)

Hope you be gentle, my smile can’t wither(b)

Told you love me, my eye gonna heater(b)

In the future, can you accompany?(a)

Hopefully, here with you, my soul could gleam(c)

Bright! Hard, Timeless! Our love looks like comet!(d)

Our togetherness never calcine(e)

Laughs, tears, love! Colouring our life stream..(c)

Moment when you hug me, I can’t forget(d)

Surely, ‘till the end of world you’ll be mine(e)






-for our day, our love, our smile, and my exercise-

#130912,251213,250315

Janneta Ruwani Tri Ayu Palingga

Kamis, 19 Maret 2015

Cerbung : halo kehidupan


Papa.. maafin Tita..
Lubuklinggau, 10 Maret 2015
Aku melihat kalender di telepon genggamku, tak kusangka bulan ini menginjak 6 tahun kepergian ayahku. Ternyata aku bisa melalui masa terpuruk ini meskipun keterpurukan tak sepenuhnya menghilang. Setidaknya kami sudah bisa tertawa dengan lepas dan ibuku tak lagi berurai air mata di tengah malam maupun disaat sedang sendiri.
Palembang, 11 Januari 2009
Selamat pagi dunia!!
Pagi ini aku bangun dengan semangat. Ahrgghh.. Kejutan apa yang akan aku dapatkan di hari ulang tahunku yang ke 14 ini? Ah, pasti papa dan mama akan mengajakku jalan-jalan sekeluarga. Tapi tidak mungkin, karena hujan turun dengan deras sejak tadi malam hingga sekarang tanpa henti. Kulihat jam masih menunjukkan pukul 08:00 pagi. Brrr. Baru kali ini aku merasakan Palembang begitu dingin.
“kakak, happy birthday ya sayang :* semoga panjang umur, tambah dewasa ya nak.” Tiba-tiba mama masuk ke kamarku dengan daster merah yang dibelinya beberapa waktu lalu. Ia langsung mencium keningku dan mengusap-usap kepalaku. Disusul oleh abang, kak Acha dan Adik bungsu ku.
“ahh. Masih bau iler semua..” gerutu ku dengan sedikit tawa. Tak lama kemudian papa memanggilku.
“ta, buruan mandi semuanya. Hari ini ayo kita jalan jalan. Makan diluar yah.. ulangtahun anak papa yang cantik ini. Kebetulan dapet duit dadakan kemarin.. “ seru ayah ku.
“yeayyy! Hore, oke pa, kakak mau pizza hut ya?” jawabku dengan bersemangat.
“sip. Gampang itu.” Sahut ayahku dengan mengacungkan jempol kanannya yang berkuku panjang.
Aku dengan bersemangat langsung mengambil handuk dan mandi sambil bernyanyi . aku rasa ini adalah hari-ku. Bahagianya menjadi diriku saat ini mempunyai ayah dan ibu yang dapat membuat aku merasa bahwa aku anak yang paling beruntung di seluruh dunia.
Tak sampai 1 jam, kami sudah siap dengan pakaian rapi namun casual untuk jalan-jalan. Ayahku dengan jeans beserta baju kaus crocodile abu-abu. Ibuku dengan blouse pink dan celana bahan merah maroon. Kak acha dengan kerudung pink dan pakaian senada. Abangku mengenakan baju kaus oblong dan celana jeans yang terkoyak di bagian lutut. Lala dengan dress hitam, dan aku dengan dress kotak-kotak hijau yang kubeli bulan lalu. Kami pun berangkat ke pizza hut untuk menuruti keinginan sang ratu sehari ini.
“pa sesudah ini kita mau kemana?” tanyaku dengan mulut penuh spaghetti.
“belanja ke PS. Katanya tas kalian sudah rusak?” jawab ibuku.
“oke sip, boleh kan beli yang kemaren kakak inginkan?” tanyaku lagi.
“iya-iya terserah, kakak mau apa tinggal ambil” kali ini ayahku yang menjawab
“huu. Giliran Tita dibeliin semua. Kami cuman nonton ya?” abangku menyeletuk.
“kalo Tita boleh ambil, bearti kalian boleh juga dong” jelas ayahku.
Seketika wajah-wajah saudaraku sumringah dan memakan potongan pizza dengan lahap karena tak sabar untuk berbelanja. Setelah kami makan sekitar pukul 11:00 kami beranjak untuk berjalan ke PS yang merupakan mall ter-hits disaat itu.
Hari ini hujan begitu deras, keberadaan Xenia silver ini sangat berguna. Untung saja ayahku membelinya di September tahun lalu dengan kredit untuk menunjang Arus Mudik Lebaran kami. Mobil ini meman tak mahal dan tak terbaru. Tapi cukup untuk mengangkat rasa percaya diriku di sekolah karena sudah berpredikat “diantar jemput mobil pribadi” seperti teman-temanku lainnya. Selain menolongku karena tak perlu berbonceng 4 bersama ibu, adik, dan abangku seperti sebelumnya mobil ini lah yang melindungi kami dari panas dan hujan. Meskipun berbadan kecil, setidaknya dapat menampung kami sekeluarga sekaligus dorris meskipun bersempit-sempit ria. Tapi disitulah titik keseruannya. Sekitar 30 menit kami tiba ke tempat yang dituju.
Kami pun berbelanja dan berfoya-foya dengan bahagia disana. Bermain game di Amazone, membeli pakaian, snack, sembako, perlengkapan sekolah, dan lainlain tanpa memikirkan muatan mobil kami nantinya. Tak terasa sudah lima jam kami berkeliling memuaskan hasrat berbelanja disana. Kami merasa lapar dan merasa ingin makan di mall yang lainya. Kami berhenti di lampu merah di dekat simpang sekip, tak lama kemudian setelah lampu hijau kami melalui jalan yang terendam banjir. Aku merasa lucu melihat kota Palembang banjir. Sehingga kami bercanda gurau mengenai banjir. Aku begitu bahagia di hari ini. Merasakan kehangatan keluarga yang tak biasanya kurasakan. Dan ternyata inilah keluargaku, semuanya tampak di ulang tahun ke 14 ku.
***
            Hari ini ayahku yang mengantarku dan lala kesekolah. Jarang sekali ia bisa mengantar atau menjemputku disekolah mengingat ia bekerja dengan tugas di luar kota. Aku tak bisa berhenti tersenyum, tak tahan ingin pamer kepada teman-teman sekelasku bahwa aku memiliki peralatan sekolah baru, dan aku mengalami hari ulang tahun yang sangat istimewa. Aku memikirkan bagaimana Rika akan memandangku dengan sinis karena selama ini ia selalu ingin dianggap lebih dari semua kata lebih di dunia ini.
“kakak, kapan ujian Nasionalnya?” pertanyaan ayahku membuyarkan imajinasiku yang sedang berkembang.
“uhm, 27 April pah, emangnya kenapa?” tanyaku.
“ohh, kalo gitu papa mau ambil cuti di tanggal segitu supaya bisa anter jemput anak papa yang mau ngadepin ujian Nasional. Seminggu kan ujiannya?”
“beneran pa?! hore. Awas ya kalo papa bohong. nggak kok Cuma 4 hari”  jawabku dengan semangat.
“iya beneran, nanti SMA nya mau kemana?” Tanya papaku lagi.
“kakak mau ke SMA kak acha, SMA N 3. Temen-temen gaul kakak semuanya mau sekolah disana pah, boleh kan?” Tanyaku lagi.
“uhm, gimana kalo SMA nya di Linggau aja? Kan mama sudah mengajukan surat pindah ikut papa ke sana? Nanti di SMA N 1, deket rumah kok.” Jawab ayahku lagi. Aku yang sedang minum teh botol sisa kemarin langsung terbatuk-batuk.
“NGGAK!! Apa tuh Linggau itu desa! Biarin nek nang aja yang disana! Kan papa bilang dulu mau balik ke kantor yang di Palembang? Kakak ga mauuu!!!” jawabku dengan sedikit marah.
“iya kalo tamat SMA nya pulang lagi kesini. Nanti kalo kakak mau pindah kesana pergi sekolahnya bawa motor sendiri. Duit jajan papa kasih banyak deh. Mau ya?” rayu ayahku lagi. Aku hanya diam dengan mulut cemberut.
“kalo adek mau ikut papa ke Linggau?” papaku bertanya kepada Lala.
“mau lah, yang penting ada papa sama mama” jawab lala dengan santainya. Aku bingung dengan pemikiran anak kecil ini. Kok mau saja diajak pindah ke kota kecil yang tidak asik seperti Linggau? Dasar bocah.
“nah kak, adek mau tuh ikut mama sama papa, kalo kakak ngga ikut nanti tinggal sama siapa? Disana jajan nya di tambahin 2x lipat deh” rayu ayahku lagi. Aku mulai tertarik dengan iming-iming uang jajan itu. Tapi, ah sudahlah. Aku tetap dengan pendirianku. Aku tidak mau menjadi anak desa. Gaptek, tidak up to date, susah sinyal. Seperti diluar planet saja.
“nggak! Kalo kakak bilang nggak ya nggak!!!” bantahku lagi. Sepertinya ayahku menyerah dengan diam dan menhembuskan nafas degan berat. Aku merasa menang saat itu. Kami pun tiba di depan gerbang sekolah.
“yaudah deh, mama sudah kasih duit jajan belum?” Tanya ayahku lagi.
“Belum..” jawab kami berdua kompak. Papa mengambil dompet dan menarik uang 50 ribuan dan 10 ribu.
“nih kakak yang biru, jangan dihabisin. Buat hari ini lebih banyak banget kan? Simpen, siapa tahu mama lagi ngga ada duit. Adek juga ya. Jangan boros.” Pesan ayahku.
“iya pah, assalamualaikum” jawab kami seraya mencium tangan ayah ku secara bergantian.
Palembang, 14 Maret 2009
Di pagi hari..
“halo? Kenapa yah? Ah? Lena udah mau lahiran? Oh iyaiyaiya. Entar malem kita udah di Linggau,.. iya..iya..iya..” ibuku bercakap-cakap di telepon dengan nada terkejut.
“kenapa ma?” Tanya abang.
“itu tante Lena, udah mau lahiran. Nanti siang mama naek travel ke Linggau, ngga papa yah kalian ber tiga dirumah?” sahut ibuku dari dalam kamar
“iya sip, nggak lama kan ma?” Tanya kaka cha.
“iya nggak, mungkin seminggu. Kan udah banyak tuh makanan di kulkas, tinggal dimasah atau diapanasin aja..” jawabnya lagi.
“oke deh mam, sip deh” jawab abangku.
***
Esok harinya…
“dedeknya cewek apa cowok ma? Lucu nggak? Siapa namanya? Gendut ya? Kapan kami kesana pengen liat dedek bayi” aku menghujani mama ku dengan pertanyaan yang beruntun.
“cowok kok, gendut lagi. Ntar deh nanti liburan kan bisa liat dedeknya.” Jawab ibuku menenangkan rasa penasaranku. Aku semakin tidak sabar untuk menghadapi Ujian Nasional bulan depan aku dapat mudik ke Lubuklinggau. Apalagi setelah mendengar adik sepupuku ini laki-laki, aku semakin gatal ingin mencium dan menggendongnya.
***
“nih mang, lima ribu kan” aku menyerahkan selembar uang kepada tukang ojek yang aku tumpangi dari pinggir jalan raya dekat lorong menuju rumahku.
“iya dek, makasih ya” ucap bapak tersebut dengan senyum bahagia atas rezeki yang ia dapat kali ini sambil meng-gas motornya.
Tak berapa lama aku tiba ke kamarku untuk melepas penat, handphone ku bordering dan ternyata yang menelpon adalah ibuku.
“halo, kenapa ma?” aku mengangkat teleponku.
“dimana kak?” sahut ibuku.
“dirumah, baru aja nyampe dari les, kenapa ma?” jawabku lagi.
“abang ada dirumah nggak?” Tanya ibuku lagi. Aku mulai curiga.
“ada, bentar yah ma” aku langsung ke kamar abangku yang berada di sisi lain dari rumahku.
“bang, nih mama. Mau ngomong” aku langsung menyerahkan handphone ku dan meninggalkan abang di kamarnya. Sedangkan aku merasa lapar dan menggoreng telur mata sapi. Sejujurnya aku tak bisa memasak, karena itulah aku hanya menggpreng telur untuk mengisi kekosongan di dalam perutku.
Saat aku tengah menikmati makanan ku, abang menghampiri dan menyampaikan pesan dari ibuku.
“ta, kamu gapapa kan dirumah sama Acha selama dua hari?” abangku bertanya serius. Tak pernah aku melihatnya seserius itu selama aku hidup.
“iya gapapa lah, emang kenapa?” jawabku dengan mulut penuh.
“besok abang jemput mama sama papa di Linggau,” ujarnya.
“ha? Tumben papa cepet pulang? Besok baru kamis. Biasanya juga hari sabtu subuh papa pulang naik travel? Emang kenapa?” aku mulai bertanya-tanya ada apa yang terjadi.
“papa sakit dari semalem, masuk angin kata mama.” Jelasnya.
Aku hanya mengangguk sambil berfikir. Kenapa seserius ini jika hanya masuk angin? Aneh. Sepertinya ada yang tidak wajar.
“Assalamualaikum..” kak Acha pulang dengan buru-buru dan wajah cemas. Ia langsung duduk di sofa ruang tamu kami. Aku mendekatinya.
“kak, kenapa sih papa?” tanyaku penasaran. Kak Acha menghembuskan nafasnya dengan berat.
“papa kena angin duduk, dek..” jawabnya dengan lemas.
“oh, masuk angin.. kirain kenapa” jawabkku lega.
“masuk angin kepalamu! Ini angin duduk, bukan masuk angin. Angin duduk itu penyumbatan darah di jantung dek, jadi papa itu kena serangan jantung ringan semalem pas bawa mobil sama mama.” Jawabannya membuat jantungku semakin berdebar. Aku tidak tahu apa itu penyumbatan darah pada jantung. Tetapi yang aku tahu masalah Jantung adalah masalah yang kronis. Aku takut terjadi yang macam-macam dengan ayahku. Aku tak berhenti berfikir tentang bahaya penyakit tersebut. Tiba-tiba aku menangis, tak tahu mengapa aku menangis sambil berfikir.
***
“heyy!! Kenapa sih? Melamun terus. Istirahat nih, yok jajan” Risty mengibas-ibas tangannya di depan wajahku.
“oh, nggak Ty, lagi mikir.” Jawabku seperti orang bodoh.
“kenapa?” tanyanya lagi.
“Papa ku sakit, sakit jantung Ty” aku langsung memeluk tubuh sahabtku itu sambil menangis terisak aku tak dapat membendung air mataku lagi.
“ha?! Sudah jangan nangis, pasti papa Tita sembuh kok” Risty menghiburku, dan aku semakun larut dengan tangisku.
Aku sudah terlalu ketakutan dengan penyakit yang sama sekali tidak aku mengerti. Yang kutahu, penyakit tersebut yang sudah membawa kakek, nenek, dan puyangku menemui-Nya. Dan yang kutahu, ayah Risty pun meninggal karena penyakit jantung. Yaa Tuhan, sembuhkanlah ayahku berilah ia umur yang panjang. Tolonglah ayahku, aku tak siap dan aku tak ingin menjadi yatim. Aku mohon.
Aku merasa tak sehat badan, sehingga aku meminta izin untuk pulang lebih cepat. Aku sudah tak sanggup belajar dengan situasi yang menakutkan seperti ini.
***
Palembang, 22 Maret 2009
21:00 WIB
Mobilku kembali kerumah beserta ayah, ibu, adik, dan abangku
“Tita, Acha, ayoo, ikut anter papa kerumah sakit” ibuku membangunkan ku yang sedang tertidur di sofa karena memang menunggu mereka tiba. Aku langsung bergegas menaiki mobil dan kami pun melesat ke Rumah Sakit.
Sesampainya disana, kami kecewa karena sehubungan akan datangnya Presiden RI lusa seluruh ruangan VIP sudah dikosongkan. Untuk persiapan jaga-jaga siapa tahu beliau membutuhkan ruangan tersebut....
(Bersambung)