Translate

Sabtu, 18 April 2015

cerbung : halo Kehidupan

Papa, Maafin Tita,... (2)


Sesampainya disana, ayahku langsung menaiki sendiri ranjang roda di teras rumah sakit. Ia berbaring dengan wajah yang mulai lemah. Namun kami kecewa karena sehubungan akan datangnya Presiden RI lusa seluruh ruangan VIP sudah dikosongkan. Untuk persiapan jaga-jaga siapa tahu beliau membutuhkan ruangan tersebut. Mengapa harus seluruh ruangan? Padahal kami lebih membutuhkan ruangan tersebut. Satu jam lebih ibuku mencari ruangan yang kosong, syukurnya kami masih diberi jalan oleh Allah SWT, ayahku mendapatkan ruangan setelah salah satu pasien boleh dipulangkan pada malam itu. Aku pun disuruh untuk pulang kerumah.
Palembang, 22 Maret 2009
Pagi – pagi sekali aku membangunkan abang untuk mengantarkan perlengkapan ayah dan ibuku di rumahsakit. Susah sekali membangunkannya.
“Bang, ayo bangun. Udah siang, mama minta di anterin pakaian sama termos..” aku menggoyang-goyangkan badannya. Abang hanya membuka mata sedikit dan kembali menarik selimutnya lagi. Namun taka ma aku mengguncang tubuhnya, abangpun terbangun.
Sesampainya dirumah sakit aku mendapati nenek (ibu dari ayahku) sedang duduk di ruang tunggu pendaftaran pasien.
“nek, kapan nyampe?” aku menyalaminya.
“sudah lama, dianter om agik. Kamu sudah makan belom?” nenekku bertanya.
“belom nek”. Aku terdiam, aku memandangi wajah nenekku yang terlihat sedih. Memang nenekku ini cengeng. Namun wajar saja begitu, ibu mana yang biasa saja saat melihat anaknya sedang sakit. Aku menahan jatuhnya air mata yng sudah menyerbu ujung mataku. Kupeluk nenek dengan erat.
“Tenang aja, besok papa kamu masuk ruang ICU, pasti papa kamu sembuh, papa kamu nggakpapa.” Suaranya bergetar, namun sebagai seroang nenek, ia mencoba menghibur, padahal seharusnya ia menghibur dirinya sendiri.
“nenek udah masuk belum keruangan papa?” tanyaku.
“sudah kok sayang” jawabnya dengan senyum.
“aku mau masuk, boleh ngga ya nek?”
“boleh kok tuh diruangan nomor 2”
“yaudah, tita ke tempat papa dulu yah nek” aku berpamit.
Saat aku membuka pintu ruangan ayahku, kulihat ayahku sedang disuapi oleh ibuku. Saat ia melihatku ia langsung tersenyum menunjukkan gigi-giginya yang mulai menghitam karena rokok. Aku bahagia melihat ayahku tersenyum seperti itu. Berarti ayahku memang sehat dan tak ada yang salah dari ayahku kecuali penyakit Diabetes Mellitus yang sudah diidapnya 10 tahun terakhir.
“eh anak papa udah datang, sini nak..”ayahku memanggilku. Aku sedikit berlari dan memegang tangan ayahku. Ahh, hangat sekali tangannya. Kehangantan tangan seorang ayah yang bersahaja.
“gimana pah? Udah sehat?” aku menanyakan keadaannya.
“Alhamdulillah sayang, hari ini pindah ruangan ke ICU” jawabnya dengan senyum yang sangat menghiburku.
Tak lama kemudian seorang dokter datang memeriksa keadaannya dan menyuntikkan cairan di perut ayahku yang belakangan aku ketahui itu adalah cairan bernama insulin.
“ayo bapak sekarang pindah ke ICU ya, sanggup nggak turunke kursi roda?” dokter bertanya kepada ayahku.
“bisa kok dok, masih sehat kok biar kurus begini jangan diremehkan” jawab ayahku sambil memamerkan otot nya yang mini. Sang dokter tertawa melihatnya. Ayahku langsung turun dari ranjang dan menduduki kursi roda yang dibawakan sorang perawat pria.
Setibanya di ruang ICU, kami tidak diperbolehkan masuk kecuali ibuku. Kami ber-empat kecewa dan kamipun disuruh ibuku untuk mencari makan siang. Kami pergi ke rumah makan padang yang terletak di area rumah sakit tersebut.
Setelah makan dan membeli makanan untuk ibuku, kami kembali keruangan ayahku. Setibanya disana kami diperbolehkan masuk karena dokter jaga sedang keluar.
Aku melihat ayahku yang sedang terpejam, aku teringat pada saat ayahku mengajak untuk pindah ke kota Lubuklinggau.
***
Lubuklinggau, 19 Maret 2015
Aku memilih lagu yang menggambarkan suasana hatiku sekarang. Kubuka folder-folder yang menyembunyikan lagu itu. Aku pun mengklik nya.
Ayah dengarlah..
Betapa sesungguhnya kumencintaimu.
Kan kubuktikan kumampu penuhi maumu.
(Gita Gutawa ft. Ada Band-Ayah)
Lagi-lagi dibulan yang sama setiap tahunnya, aku mendengarkan lagu ini sambil menahan gejolak di ujung emosi kesedihanku. Lagu ini sudah menjadi lagu wajib bulan Maret-ku. Ini semua karena, Aku rindu ayah.
***
Palembang, 26 Maret 2009
“mau kemana ta?” Fito yang dari tadi mengikutiku akhirnya bertanya.
“kerumah sakit” aku tetap cetus terhadapnya karena aku merasa tak nyaman karena baru-baru ini dia mengungkapkan perasaannya.
“daag, yah, udah nyampe nih.. hatihati ya..” pamitku seraya melambaikan tangan kepada Fito.
“iya, hati-hati ya cantikku..” ia tersenyum membalas lambaian tanganku. Tak lama aku berjalan, ku menoleh ke tempatnya berdiri tadi. Ia sudah diseberang jalan menaiki bus kertapati-perumnas yanag biasa ia naiki.
“bocah aneh, dari sekolah hingga rumah sakit yang berjarak 1kilometer membuntutiku. Stress “ gumamku sedikit menghinanya, tapi aku menyukai jika ada orang yang seperti itu.
***
Ayahku sedang memakan Bakso yang disuapi oleh ibuku. Sebenarnya makanan itu tak diperbolehkan. Tapi ayahku tak berhenti bertanya “kapan beli bakso Laapangan Tembak nya?” seperti orang yang sedang mengidam. Karena ingin cepat, ibuku hanya membelikan bakso yang dijual disekitar rumahsakit.
“Enak pah?” Tanya abangku.
“nggak. Enakan bakso Lapangan Tembak..” jawab ayahku dengan mulut yang penuh. Aku tersenyum.
“Hweleh, nggak enak tapi habis….” Aku sedikit mengejek.
“hehe. Dari pada nggak ada, terus mubadzir..” jawab ayahku seraya tersenyum ala nyengir kuda yang jenaka.
“pah, kalau Tita sekolah disana, papa mau beliin Tita mobil?” aku bertanya dengan raguragu.
“hmm. Kok mobil? Masih kecil juga.” Ayahkku mengernyitkan alis.
“nggak sekarang, tapi nanti kalo Tita udah dapet KTP. Ya pah?” Jawab ku dengan serius.
“ah, masih lama juga. Tiga tahun lagi kan?, sippp boss.” Ayahku menyetujui.
“terus Tita boleh kan kuliah di KL” tanyaku lagi untuk memastikan ajakan ayahku.
“oke gampang kalo gitu” ia tersenyum ceria.
Aku akhirnya membuat keputusan yang kulakukan demi membuat ayahku senang. Semoga ayahku cepat sembuh. Kumemandang wajahnya yang pucat dan mulai berkeriput. Raut wajah ibuku yang juga kelelahan, tak luput dari pandanganku. Ayah, Ibu sehatlah selalu. Kuingin melihat wajah kalian yang bangga pada saat aku merengkuh gelar Dokter jantung. Aku cinta kalian..
“senin besok papa pindah ke kamar kelas satu ya. Supaya lebih enak tementemen jenguk.” Ayahku memberitahu. Aku tersenyum, berarti aku bisa dengan leluasa menginap dirumahsakit menemani ayah dan ibuku.
“ta, sms-in kak acha, bilang bawa pakaian sekolah kamu supaya besok bisa sekolahnya dari rumah sakit.” Ujar ibuku.
“oke mam” aku buru-buru mengetik pesan sesuai dengan perintah ibuku berburu dengan waktu.
Sejam kemudian, kak acha tiba di rumah sakit bersama lala dan abang.
“mana baju tita?” aku membongkar tas yang berisi pakaian yang dibawa kak acha.
“ngga ketemu, baju kurung kamu dimana sih?” kak acha menjawab sedikit bingung.
“lha? Jadi baju tita ngga dibawa?” aku merajuk dan cemberut. Lansung pergi keluar dari ruang ICU.
Kudengar dari kejauhan ibuku mengomeli kak acha. Dia hanya terdiam. Aku benarbenar kesal saat itu. Entah hari itu aku sangat  ingin menemani ayahku dirumah sakit. Aku duduk di pinggir tangga dekat patung rahim di tengah-dari rumah sakit tersebut.
Handphone ku bordering, telepon masuk dari ibuku.
“dimana ta? Pulang gih sama abang, udah sore ini..” kata ibuku dari seberang telepon.
“iya mam, “ aku terkulai lesu, rasanya biarkanlah aku tak usah sekolah besok.
Tapi ayahku pasti tidak suka melihatku bolos sekolah.
Aku memasuki ruangan itu lagi. Ayahku sedang tidur. Aku melihat baru kali ini selama 5 hari dirumah sakit melihatnya tidur dengan pulas. Tak tega membangunkannya, aku hanya mengecup keningnya. Hangat sekali kepalanya. Ayahku pasti hanya demam, aku menenangkan diriku sendiri. Setelah berpamitan dengan ibuku, akupun pulang bersama abang.
“besok langsung dibawa aja pakaian pramukanya, jadi bisa nginep dek,” sarannya sambil mengendalikan roda didepannya.
“iya bang, besok anter yah sekolahnya..”
“bangunin pagi aja.” Sahutnya lagi. Hening.. Aku tahu abangku ini juga sangat cemas dengan keadaan ayahku, karena ini bukan penyakit yang main-main. Dibalik wajahnya yang menyeramkan dan cuek, tersirat kasih sayang yang siap diluapkannya untuk kami kapan saja. Tetapi, andai saja abangku ini sudah berfikir dewasa, mungkin dia bukan menjadi kakak tertua yang seperti ini.
Tak terasa kamipun sampai dirumah sekitar pukul tujuh malam. Kami langsung mengunci diri di kamar masing-masing. Tak lama ia memanggilku.
“dek, abang tidur di kamar mama papa ya.”
“yaa,, terserah”  abangku langsung mendengkur, dasar muka bantal. Hahaha. Aku mencari diary Barbie yang dibelikan oleh kak acha dan kak maya pada ulangtahunku yang lalu. Kucurahkan segala kegiatanku, bahkan tentang kekesalanku dengan kak acha beberapa hari ini dan tertidur… huh, beruntungnya lala dan kak acha bisa menginap disana.
Palembang, 27 Maret 2009
Pukul 03:00 wib.
Aku merasa leherku tercekik.
Ayah , Ibu tolong aku!!
Aku tak bisa bernafas.
Ada apa denganku? Aku sedang tidur terlelap.
Apakah ada serangga yang masuk tenggorokanku?
Nafasku terasa tak sampai ke leher lagi.
Aku terbatuk-batuk. Sayup-sayup setengah tersadar aku mendengar ada seseorang yang mengetuk pintu rumahku. Tapi harus kuabaikan karena gatal ditenggorokan ini tak dapat kutolerir. Makin lama suara ketukan itu merambah ke jendela rumah, sepertinya ada yang gawat. Aku mulai benar-benar terbangun dan langsung berlari ke depan pintu, jantungku brdebar seolah melarangku membuka pintu. Kulihat adik ayahku menempelkan wajahnya dengan wajah syok.
Ada apa ini?
Semoga saja hanya karena om-ku ini ingin menemani kami dirumah,
Tetapi, ini jam 4 subuh.. mustahil.
Akhirnya kubukakan pintu,
“kenapa om?” aku merasa tegang menebak-nebak situasi apa yang akan kuhadapi semenit kedepan.
“PAPA MENINGGAL, Ta,!” ia menjawab pertanyaanku dengan singkat, sebuah kata yang takkan pernah ingin kudengar. Aku terpaku. Kuketuk pintu kamar ayah dan ibuku tempat abang tidur, sangat sulit kubangunkan. Aku tendang pintu itu, dan abang ku keluar dengan wajah masih mengantuk.
“kenapa dek? Mau sekolah?” dia bertanya setangah tak sadar.
Aku langsung memeluk abang, dan ia terbelalak saat aku dan om-ku menyatakan bahwa.
“PAPA MENINGGAL!” air mata yang sebelumnya kubendung, tak tahan lagi untuk berjatuhan mewakili kehancuran hatiku. Aku lemas, terasa kaki ini tak mempunyai saraf dan tulang. Semampuku aku berjalan ke rumah tetanggaku yang merupakan ketua RT setempat sekaligus sahabat ayahku. Aku tak memedulikan abang yang sudah tak jelas kondisinya bersama tetangga lain yang mendengar teriakanku sebelumnya.
Aku kembali menggedor-gedor pintu dengan tak sabar, tak lam kemudian kak Edi, anak Pak RT yang juga teman abangku dan juga kami anggap kaluarga membukakan pintu. Aku langsung memeluknya pula seperti aku memeluk abangku. Hatiku sudah tak karuan membayangkan wajah ayahku yang sudah kaku tanpa senyumnya lagi. Mengapa bukan aku yang Engkau ambil yaa Allah. Tukar aku, tolong tukar aku! Ini tak adil, ini benar-benar tak adil!! Aku memukul-mukul dadaku yang terasa sesak. Kak Edi dan ayah ibunya memboyongkku kembali kerumah dan menaikkanku ke mobil. Aku tak bisa menghentikan air mataku yang kelenjarnya mungkin sudah pecah.
Aku hanya menangis di dalam mobil yang aku tak tahu siapa yang mengemudikannya, dan tanpa sadar aku sudah dirumah sakit dan berlari  keruangan ayahku kemarin bersama abang. Aku merasa semua ini mimpi karena merasa tubuhku melayang dan berlari tanpa tenaga.
Di depan patung rahim tempat aku duduk kemarin aku berhenti berlari karena melihat kak acha sedang menangis, ya Tuhan, kak Acha menangis, berarti ayahku memang sudah meninggal. Tubuhku lunglai melihat airmata yang jatuh dari kedua mata ibuku yang cantik, apakah benar ibuku menjadi seorang janda. Mengapa dokter kemarin berkata ayahku sudah sehat? Berarti mereka berbohong!
Ibuku memeluk wajahku yang membengkak karena menangis, menciumi seluruh wajahku, lala memegang tanganku dengan wajah menangis tetapi bingung. Apa kesalahan kami sehingga ayahku diambil begitu cepat? Aku tak bisa berhenti menyalahkan Tuhan. Kak acha yang dipeluk oleh abang seraya memukuli dadanya karena marah menangis sejadijadinya. Kepedihan malam ini, sejarah yang kan terukir selamanya.
Kami berjalan ke ruang ICU, karena ayahku belum keluar dari sana. Aku membuka tirai pembatas di sekeliling ayahku. Kulihat nenek yang sudah menangis tak karuan memuku-mukul kakinya yang renta. Sangat pedih melihatnya. Orang tua mana yang tidak pedih melihat anaknya pergi.
Ayahku terbungkus kain jarik batik yang kugunakan malam kemarin untuk melindungiku dari dingin. Ayahku berseri tersenyum dengan tampan hari ini. Kucium pipinya. Ayahku tak wangi seperti kemarin, ia sudah berbau kapur barus. Tapi tetap kuciumi ia dengan seluruh wajahku. Ayahku dingin sekali. Kupegang kumisnya yang menjadi favoritku dengan harapan ia akan menggerakkan bibirnya seperti saat aku menarik kumisnya saat ia masih bernyawa. Aku masih berharap ia akan bangun. Dan memelukku seperti aku masih kecil dahulu. Ternyata sudah lama aku tak memeluk ayahku.
Lubuklinggau, 31 Maret 2015
Dear papa,
Kakak menangis lagi hari ini, maafin menjadi anak yang cengeng.
Maafin Tita yang nggak bisa menjadi seseorang yang pernah kita cita-citakan bersama.
Maafin Tita yang nggak bisa jaga mama, adik, abang dan kak acha.
Maafin Tita yang nggak bisa jaga diri sendiri, maafin Tita yang nggak bisa dibanggakan,
Papa bahagia kan disana? Melihat kami disini yang selalu ingat dan rindu papa?
Tita masih ingat setiap detail saat papa masih ada, setiap momen kita bersama, wajah papa dirumah sakit, wajah papa yang membeku, pakaian favorit papa, bahkan, saat papa dikebumikan, makasih ya pa, jadi inspirasi terbesar di hidup kami.
Sekarang kakak sudah gemuk, lala juga sudah kaya kingkong gedenya,
Mama nggak kurus lagi seperti setahun setelah papa pergi, kami sudah bisa menerima keadaan tanpa papa meskipun semua langkah kami masih terkenang tentang papa.
Makasih ya pa, ngobatin kangen kakak,
Kemarin kakak mimpi papa pulang, dengan kemeja putih bersih seperti baru pulang kerja dulu. Papa ketawa ketiwi sama kami dan mencium cucu perempuan papa yang sangat cantik, yaitu anak abang, Aulia namanya. Wajah papa kemarin ganteng banget loh, pokoknya rano karno kalah deh, :*kami semua cinta papa, tolong berbahagialah di alam sana,
Tidur yang nyenyak dan mimpi yang indah, dan semoga ditempatkan yang layak disisi-Nya ya pa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar