Translate

Rabu, 25 Maret 2015

sample of Sonnets


Sample of Sonnets :

‘til the End of World

Can’t call your name, I call you My Honey(a)

Gave my heart I will never be waver(b)

Remember when you stand as a wooer(b)

Scream to call me with all ability(a)

I can’t change all your heart with much money(a)

Hope you be gentle, my smile can’t wither(b)

Told you love me, my eye gonna heater(b)

In the future, can you accompany?(a)

Hopefully, here with you, my soul could gleam(c)

Bright! Hard, Timeless! Our love looks like comet!(d)

Our togetherness never calcine(e)

Laughs, tears, love! Colouring our life stream..(c)

Moment when you hug me, I can’t forget(d)

Surely, ‘till the end of world you’ll be mine(e)






-for our day, our love, our smile, and my exercise-

#130912,251213,250315

Janneta Ruwani Tri Ayu Palingga

Kamis, 19 Maret 2015

Cerbung : halo kehidupan


Papa.. maafin Tita..
Lubuklinggau, 10 Maret 2015
Aku melihat kalender di telepon genggamku, tak kusangka bulan ini menginjak 6 tahun kepergian ayahku. Ternyata aku bisa melalui masa terpuruk ini meskipun keterpurukan tak sepenuhnya menghilang. Setidaknya kami sudah bisa tertawa dengan lepas dan ibuku tak lagi berurai air mata di tengah malam maupun disaat sedang sendiri.
Palembang, 11 Januari 2009
Selamat pagi dunia!!
Pagi ini aku bangun dengan semangat. Ahrgghh.. Kejutan apa yang akan aku dapatkan di hari ulang tahunku yang ke 14 ini? Ah, pasti papa dan mama akan mengajakku jalan-jalan sekeluarga. Tapi tidak mungkin, karena hujan turun dengan deras sejak tadi malam hingga sekarang tanpa henti. Kulihat jam masih menunjukkan pukul 08:00 pagi. Brrr. Baru kali ini aku merasakan Palembang begitu dingin.
“kakak, happy birthday ya sayang :* semoga panjang umur, tambah dewasa ya nak.” Tiba-tiba mama masuk ke kamarku dengan daster merah yang dibelinya beberapa waktu lalu. Ia langsung mencium keningku dan mengusap-usap kepalaku. Disusul oleh abang, kak Acha dan Adik bungsu ku.
“ahh. Masih bau iler semua..” gerutu ku dengan sedikit tawa. Tak lama kemudian papa memanggilku.
“ta, buruan mandi semuanya. Hari ini ayo kita jalan jalan. Makan diluar yah.. ulangtahun anak papa yang cantik ini. Kebetulan dapet duit dadakan kemarin.. “ seru ayah ku.
“yeayyy! Hore, oke pa, kakak mau pizza hut ya?” jawabku dengan bersemangat.
“sip. Gampang itu.” Sahut ayahku dengan mengacungkan jempol kanannya yang berkuku panjang.
Aku dengan bersemangat langsung mengambil handuk dan mandi sambil bernyanyi . aku rasa ini adalah hari-ku. Bahagianya menjadi diriku saat ini mempunyai ayah dan ibu yang dapat membuat aku merasa bahwa aku anak yang paling beruntung di seluruh dunia.
Tak sampai 1 jam, kami sudah siap dengan pakaian rapi namun casual untuk jalan-jalan. Ayahku dengan jeans beserta baju kaus crocodile abu-abu. Ibuku dengan blouse pink dan celana bahan merah maroon. Kak acha dengan kerudung pink dan pakaian senada. Abangku mengenakan baju kaus oblong dan celana jeans yang terkoyak di bagian lutut. Lala dengan dress hitam, dan aku dengan dress kotak-kotak hijau yang kubeli bulan lalu. Kami pun berangkat ke pizza hut untuk menuruti keinginan sang ratu sehari ini.
“pa sesudah ini kita mau kemana?” tanyaku dengan mulut penuh spaghetti.
“belanja ke PS. Katanya tas kalian sudah rusak?” jawab ibuku.
“oke sip, boleh kan beli yang kemaren kakak inginkan?” tanyaku lagi.
“iya-iya terserah, kakak mau apa tinggal ambil” kali ini ayahku yang menjawab
“huu. Giliran Tita dibeliin semua. Kami cuman nonton ya?” abangku menyeletuk.
“kalo Tita boleh ambil, bearti kalian boleh juga dong” jelas ayahku.
Seketika wajah-wajah saudaraku sumringah dan memakan potongan pizza dengan lahap karena tak sabar untuk berbelanja. Setelah kami makan sekitar pukul 11:00 kami beranjak untuk berjalan ke PS yang merupakan mall ter-hits disaat itu.
Hari ini hujan begitu deras, keberadaan Xenia silver ini sangat berguna. Untung saja ayahku membelinya di September tahun lalu dengan kredit untuk menunjang Arus Mudik Lebaran kami. Mobil ini meman tak mahal dan tak terbaru. Tapi cukup untuk mengangkat rasa percaya diriku di sekolah karena sudah berpredikat “diantar jemput mobil pribadi” seperti teman-temanku lainnya. Selain menolongku karena tak perlu berbonceng 4 bersama ibu, adik, dan abangku seperti sebelumnya mobil ini lah yang melindungi kami dari panas dan hujan. Meskipun berbadan kecil, setidaknya dapat menampung kami sekeluarga sekaligus dorris meskipun bersempit-sempit ria. Tapi disitulah titik keseruannya. Sekitar 30 menit kami tiba ke tempat yang dituju.
Kami pun berbelanja dan berfoya-foya dengan bahagia disana. Bermain game di Amazone, membeli pakaian, snack, sembako, perlengkapan sekolah, dan lainlain tanpa memikirkan muatan mobil kami nantinya. Tak terasa sudah lima jam kami berkeliling memuaskan hasrat berbelanja disana. Kami merasa lapar dan merasa ingin makan di mall yang lainya. Kami berhenti di lampu merah di dekat simpang sekip, tak lama kemudian setelah lampu hijau kami melalui jalan yang terendam banjir. Aku merasa lucu melihat kota Palembang banjir. Sehingga kami bercanda gurau mengenai banjir. Aku begitu bahagia di hari ini. Merasakan kehangatan keluarga yang tak biasanya kurasakan. Dan ternyata inilah keluargaku, semuanya tampak di ulang tahun ke 14 ku.
***
            Hari ini ayahku yang mengantarku dan lala kesekolah. Jarang sekali ia bisa mengantar atau menjemputku disekolah mengingat ia bekerja dengan tugas di luar kota. Aku tak bisa berhenti tersenyum, tak tahan ingin pamer kepada teman-teman sekelasku bahwa aku memiliki peralatan sekolah baru, dan aku mengalami hari ulang tahun yang sangat istimewa. Aku memikirkan bagaimana Rika akan memandangku dengan sinis karena selama ini ia selalu ingin dianggap lebih dari semua kata lebih di dunia ini.
“kakak, kapan ujian Nasionalnya?” pertanyaan ayahku membuyarkan imajinasiku yang sedang berkembang.
“uhm, 27 April pah, emangnya kenapa?” tanyaku.
“ohh, kalo gitu papa mau ambil cuti di tanggal segitu supaya bisa anter jemput anak papa yang mau ngadepin ujian Nasional. Seminggu kan ujiannya?”
“beneran pa?! hore. Awas ya kalo papa bohong. nggak kok Cuma 4 hari”  jawabku dengan semangat.
“iya beneran, nanti SMA nya mau kemana?” Tanya papaku lagi.
“kakak mau ke SMA kak acha, SMA N 3. Temen-temen gaul kakak semuanya mau sekolah disana pah, boleh kan?” Tanyaku lagi.
“uhm, gimana kalo SMA nya di Linggau aja? Kan mama sudah mengajukan surat pindah ikut papa ke sana? Nanti di SMA N 1, deket rumah kok.” Jawab ayahku lagi. Aku yang sedang minum teh botol sisa kemarin langsung terbatuk-batuk.
“NGGAK!! Apa tuh Linggau itu desa! Biarin nek nang aja yang disana! Kan papa bilang dulu mau balik ke kantor yang di Palembang? Kakak ga mauuu!!!” jawabku dengan sedikit marah.
“iya kalo tamat SMA nya pulang lagi kesini. Nanti kalo kakak mau pindah kesana pergi sekolahnya bawa motor sendiri. Duit jajan papa kasih banyak deh. Mau ya?” rayu ayahku lagi. Aku hanya diam dengan mulut cemberut.
“kalo adek mau ikut papa ke Linggau?” papaku bertanya kepada Lala.
“mau lah, yang penting ada papa sama mama” jawab lala dengan santainya. Aku bingung dengan pemikiran anak kecil ini. Kok mau saja diajak pindah ke kota kecil yang tidak asik seperti Linggau? Dasar bocah.
“nah kak, adek mau tuh ikut mama sama papa, kalo kakak ngga ikut nanti tinggal sama siapa? Disana jajan nya di tambahin 2x lipat deh” rayu ayahku lagi. Aku mulai tertarik dengan iming-iming uang jajan itu. Tapi, ah sudahlah. Aku tetap dengan pendirianku. Aku tidak mau menjadi anak desa. Gaptek, tidak up to date, susah sinyal. Seperti diluar planet saja.
“nggak! Kalo kakak bilang nggak ya nggak!!!” bantahku lagi. Sepertinya ayahku menyerah dengan diam dan menhembuskan nafas degan berat. Aku merasa menang saat itu. Kami pun tiba di depan gerbang sekolah.
“yaudah deh, mama sudah kasih duit jajan belum?” Tanya ayahku lagi.
“Belum..” jawab kami berdua kompak. Papa mengambil dompet dan menarik uang 50 ribuan dan 10 ribu.
“nih kakak yang biru, jangan dihabisin. Buat hari ini lebih banyak banget kan? Simpen, siapa tahu mama lagi ngga ada duit. Adek juga ya. Jangan boros.” Pesan ayahku.
“iya pah, assalamualaikum” jawab kami seraya mencium tangan ayah ku secara bergantian.
Palembang, 14 Maret 2009
Di pagi hari..
“halo? Kenapa yah? Ah? Lena udah mau lahiran? Oh iyaiyaiya. Entar malem kita udah di Linggau,.. iya..iya..iya..” ibuku bercakap-cakap di telepon dengan nada terkejut.
“kenapa ma?” Tanya abang.
“itu tante Lena, udah mau lahiran. Nanti siang mama naek travel ke Linggau, ngga papa yah kalian ber tiga dirumah?” sahut ibuku dari dalam kamar
“iya sip, nggak lama kan ma?” Tanya kaka cha.
“iya nggak, mungkin seminggu. Kan udah banyak tuh makanan di kulkas, tinggal dimasah atau diapanasin aja..” jawabnya lagi.
“oke deh mam, sip deh” jawab abangku.
***
Esok harinya…
“dedeknya cewek apa cowok ma? Lucu nggak? Siapa namanya? Gendut ya? Kapan kami kesana pengen liat dedek bayi” aku menghujani mama ku dengan pertanyaan yang beruntun.
“cowok kok, gendut lagi. Ntar deh nanti liburan kan bisa liat dedeknya.” Jawab ibuku menenangkan rasa penasaranku. Aku semakin tidak sabar untuk menghadapi Ujian Nasional bulan depan aku dapat mudik ke Lubuklinggau. Apalagi setelah mendengar adik sepupuku ini laki-laki, aku semakin gatal ingin mencium dan menggendongnya.
***
“nih mang, lima ribu kan” aku menyerahkan selembar uang kepada tukang ojek yang aku tumpangi dari pinggir jalan raya dekat lorong menuju rumahku.
“iya dek, makasih ya” ucap bapak tersebut dengan senyum bahagia atas rezeki yang ia dapat kali ini sambil meng-gas motornya.
Tak berapa lama aku tiba ke kamarku untuk melepas penat, handphone ku bordering dan ternyata yang menelpon adalah ibuku.
“halo, kenapa ma?” aku mengangkat teleponku.
“dimana kak?” sahut ibuku.
“dirumah, baru aja nyampe dari les, kenapa ma?” jawabku lagi.
“abang ada dirumah nggak?” Tanya ibuku lagi. Aku mulai curiga.
“ada, bentar yah ma” aku langsung ke kamar abangku yang berada di sisi lain dari rumahku.
“bang, nih mama. Mau ngomong” aku langsung menyerahkan handphone ku dan meninggalkan abang di kamarnya. Sedangkan aku merasa lapar dan menggoreng telur mata sapi. Sejujurnya aku tak bisa memasak, karena itulah aku hanya menggpreng telur untuk mengisi kekosongan di dalam perutku.
Saat aku tengah menikmati makanan ku, abang menghampiri dan menyampaikan pesan dari ibuku.
“ta, kamu gapapa kan dirumah sama Acha selama dua hari?” abangku bertanya serius. Tak pernah aku melihatnya seserius itu selama aku hidup.
“iya gapapa lah, emang kenapa?” jawabku dengan mulut penuh.
“besok abang jemput mama sama papa di Linggau,” ujarnya.
“ha? Tumben papa cepet pulang? Besok baru kamis. Biasanya juga hari sabtu subuh papa pulang naik travel? Emang kenapa?” aku mulai bertanya-tanya ada apa yang terjadi.
“papa sakit dari semalem, masuk angin kata mama.” Jelasnya.
Aku hanya mengangguk sambil berfikir. Kenapa seserius ini jika hanya masuk angin? Aneh. Sepertinya ada yang tidak wajar.
“Assalamualaikum..” kak Acha pulang dengan buru-buru dan wajah cemas. Ia langsung duduk di sofa ruang tamu kami. Aku mendekatinya.
“kak, kenapa sih papa?” tanyaku penasaran. Kak Acha menghembuskan nafasnya dengan berat.
“papa kena angin duduk, dek..” jawabnya dengan lemas.
“oh, masuk angin.. kirain kenapa” jawabkku lega.
“masuk angin kepalamu! Ini angin duduk, bukan masuk angin. Angin duduk itu penyumbatan darah di jantung dek, jadi papa itu kena serangan jantung ringan semalem pas bawa mobil sama mama.” Jawabannya membuat jantungku semakin berdebar. Aku tidak tahu apa itu penyumbatan darah pada jantung. Tetapi yang aku tahu masalah Jantung adalah masalah yang kronis. Aku takut terjadi yang macam-macam dengan ayahku. Aku tak berhenti berfikir tentang bahaya penyakit tersebut. Tiba-tiba aku menangis, tak tahu mengapa aku menangis sambil berfikir.
***
“heyy!! Kenapa sih? Melamun terus. Istirahat nih, yok jajan” Risty mengibas-ibas tangannya di depan wajahku.
“oh, nggak Ty, lagi mikir.” Jawabku seperti orang bodoh.
“kenapa?” tanyanya lagi.
“Papa ku sakit, sakit jantung Ty” aku langsung memeluk tubuh sahabtku itu sambil menangis terisak aku tak dapat membendung air mataku lagi.
“ha?! Sudah jangan nangis, pasti papa Tita sembuh kok” Risty menghiburku, dan aku semakun larut dengan tangisku.
Aku sudah terlalu ketakutan dengan penyakit yang sama sekali tidak aku mengerti. Yang kutahu, penyakit tersebut yang sudah membawa kakek, nenek, dan puyangku menemui-Nya. Dan yang kutahu, ayah Risty pun meninggal karena penyakit jantung. Yaa Tuhan, sembuhkanlah ayahku berilah ia umur yang panjang. Tolonglah ayahku, aku tak siap dan aku tak ingin menjadi yatim. Aku mohon.
Aku merasa tak sehat badan, sehingga aku meminta izin untuk pulang lebih cepat. Aku sudah tak sanggup belajar dengan situasi yang menakutkan seperti ini.
***
Palembang, 22 Maret 2009
21:00 WIB
Mobilku kembali kerumah beserta ayah, ibu, adik, dan abangku
“Tita, Acha, ayoo, ikut anter papa kerumah sakit” ibuku membangunkan ku yang sedang tertidur di sofa karena memang menunggu mereka tiba. Aku langsung bergegas menaiki mobil dan kami pun melesat ke Rumah Sakit.
Sesampainya disana, kami kecewa karena sehubungan akan datangnya Presiden RI lusa seluruh ruangan VIP sudah dikosongkan. Untuk persiapan jaga-jaga siapa tahu beliau membutuhkan ruangan tersebut....
(Bersambung)

cerbung : Halo kehidupan



Penyakit dan Kakek Misterius

Terkadang, apa yang kita rasakan dan fikirkan,
Tidak sama dengan apa yang akan kita hadapi.
Dan begitulah kehidupan yang berharga.
Lubuklinggau, 04 Maret 2015
Malam ini aku tak bisa memejamkan mataku. Semenjak terbesit ingatan-ingatan yang dapat membuatku merasa hancur kembali seakan aku tak mungkin bisa menghadapi hari esokku. Aku kembali putus asa. Tapi tak henti ku lentikkan jari-jemariku di keyboard untuk mencurahkan segala kegelisahan yang sering menggangguku.
Palembang, 17-desember-2008
Aku memejamkan mata menandakan bahwa aku sedang menahan sentakan tibatiba di kepala ku yang di ketahui itu terletak dekat dengan bagian otak belakangku. Aku sedikit meringis hingga ayah, ibu, dan adik perempuanku yang baru duduk di kelas tiga sekolah dasar segera mendekatiku. Aku purapura tak tahu, seakan-akan tadi tidak ada yang terjadi.
“kak, kakak mau makan apa? Bilang aja, nanti Papa beliin..” seorang pria paruh baya yang merupahan ayahku ini membangunkan ku yang sedang terbaring lemah di kasur lantai pada ruang keluarga ku.
”Ngga pa, kakak ga nafsu makan.. lidah kakak pahit, kakak Cuma mau dibeliin juice melon aja. “ jawabku dengan suara serak.
”oke bos, jadi Cuma juice melon, Papa beliin pizza juga, papa sama mama pergi dulu ya, cup” pamit ayahku seraya mengecup keningku yang masih panas bergantian kecupan lembut ibuku. “jangan banyak gerak dulu ya ta,” kata ibuku. Aku mengangguk pelan sekaligus tersenyum sedikit membalas ucapan ibuku, karena bila aku tersenyum sedikit lebar bibirku terasa seperti koyak.
“Cha, jagain Tita ya! Mama sama Papa pergi dulu, Assalamualaikum!” kata ayahku sedikit mengeraskan suaranya.
“waalaikumsalam” jawab kak Acha.
Memang sudah hampir satu bulan ini kesehatanku terganggu. Aku tak tahu penyakit apa yang sedang ku idap saat ini. Aku akui bahwa memang sedari lahir aku mempunyai fisik yang lemah karena sakit atshma yang diturunkan kakek-nenek dari pihak ayah ataupun ibuku. Telah lama sejak terakhir kali aku kumat, penyakit ini lah yang paling menakutkan. Terkadang aku merasa bahwa mungkin saja ini adalah penyakit parah. Seringkali aku terjatuh lagi saat aku sekedar mencoba berjalan barang selangkah maupun dua langkah. Ini sangat menyulitkan untuk melakukan semua kegiatan pribadiku.
Tiba-tiba aku merasa ingin ke kamar mandi, aku bertekad untuk mandiri karena aku sudah lelah di’layani’ oleh kakak perempuanku itu. Sedangkan kulihat ia sedang asyik dengan –lappy nya untuk me-revisi tugas kuliah- nya. Aku bersandar dengan dinding di sebelah kananku, tanganku mencoba menggapai meja computer yang dekat seraya menegakkan kakiku dan, Brakkkkkk…. Badanku sedikit terhempas sehingga keyboard computer beserta desknya terjatuh kelantai.
“TITA!!!.. mau kemana?! Kenapa ngga panggil kakak?” pekik kakakku seraya mengangkat tubuhku. Aku hanya tersenyum kecut. “kakak sih, asik banget maen Zuma nya, nyonya tita mau ke wece, tolong antar ya, inem” kataku sedikit bercanda. Kakakku hanya sedikit manyun tak terima dengan  perkataanku sambil membopongku ke kamar mandi. Disaat seperti ini aku benarbenar merasakan dimanja dan disayangi. Sebenarnya aku sedikit kaget dengan kak Acha, yang aku ketahui dia adalah kakak dengan darah super dingin, dan mempunyai naluri otoriter tinggi. Judes, dan hobby marah-marah bahkan sambil mengomel ini, dapat menunjukkan perhatian yang sedikit lebih ‘aneh’ menurutku. Kupandangi wajahnya yang menggambarkan wanita yang sedikit tomboy, kupandagi lagi dan akupun sadar, dia wanita tercantik setelah ibuku. Aku tersenyum.
Setelah selesai aku membuka pintu kamar mandi dan kembali ke pelukan kakakku yang dengan setia menungguku di depan layaknya seorang bodyguard yang menjaga sang putri kerajaan. Aku kembali dibopongnya hingga kembali ke kasur lantaiku.
“kalo mau apa-apa, atau mau kemana-mana.. bilang dong. Kalau kamu jatuh kaya tadi sampe luka kan kakak yang kena marah.” Pesan kakakku. “iyaiya, nenek sihirr..” cercaku padanya.
Aku kembali ke singasana yang sudah satu bulan ini sudah aku duduki, membaringkan kepalaku lebih tinggi dari biasanya seraya memencet tombol remote control mencari acara televisi yang kuinginkan.
***
Oh iya, aku belum mengenalkan siapa aku dan keluargaku. Namaku Jeanita, tetapi panggilanku dirumah adalah Tita. Sedangkan saat disekolah aku dipanggil Nita mengikuti nama asliku. Sekarang aku duduk di kelas Sembilan di salah satu Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Palembang (setara SMP) terbaik di kotaku. Aku anak ketiga dari empat saudara yang terdiri dari satu laki-laki dan tiga perempuan.
Yang laki-laki adalah kakak tertuaku yang selalu kupanggil Abang ferry, lakilaki tertampan kedua setelah ayahku yang berbadan tambun dan berperut buncit. Ia sedang kuliah di kampus computer terbaru di Palembang dan yang terbaik (pada saat itu). Yaitu PalComTech, ia mengambil program D-1 di jurusan Desain Grafis.
Kakak acha adalah anak kedua, seperti yang kukatakan sebelumnya dia sedikit tomboy, sejak kecil ia selalu bermain layang-layang dengan anak lelaki di sekitar rumah kami. Tapi ia sedikit berbeda karena hampir satu tahun ini dia menggunakan jilbab sehingga terlihat lebih wanita. Sekarang ia di semester 7 di Universitas Sriwijaya ‘layo’ (menyebutkan daerah Tempat Universitasnya) Jurusan Ekonomi Pembangunan. ‘layo’ adalah sebutan untuk keberadaan kampus tersebut atau lebih dikenal Inderalaya. Dan sekaligus menunjukkan status bahwa mahasiswa ‘layo’ adalah mahasiswa yang lulus melalui jalur SNMPTN, bukan seperti mahasiswa UNSRI Bukit yang lulus melalui ujian mandiri.
Dan yang terakhir adalah adik kecilku Lala, dia sekolah di Madrasah Ibtidayah Negeri 1 Palembang yang bertetangga dengan sekolah-ku. Usianya baru saja genap 8 tahun November lalu. Ia anak yang manis dan aktif namun sedikit lebih nakal dari anak biasanya. Biasanya dia selalu mengikuti kemana saja aku pergi dirumah maupun disekolah, sehingga terkadang aku terganggu oleh tingkahnya itu. Sering ia kumarahi dan kusuruh untuk menjauhi ku, terkadang aku merasa tak tega. Tapi bagaimana lagi, karena aku juga butuh ruang untuk berinteraksi dengan teman-temanku.
Kami berempat lahr dari seorang ayah dan ibu super  yang terbaik yang pernah ada di dunia ini. Ayah dan ibu yang menyayangi anak-anaknya dan selalu menjadi tauladan bagi siapapun yang melihatnya. Mereka berdua menghargai kehidupan social dan bertetangga apalagi di komplek perumahan kami yang notabene dihuni oleh pasangan yang baru menikah barang setahun duatahun atau bahkan yang baru saja menikah.
Ayahku bernama Rozi yang bekerja di kantor Departemen Keuangan yang mengurusi masalah Pajak penduduk dengan jabatan Juru Sita dan sedang ditugaskan di kota kelahiran ibuku, Lubuklinggau. Bulan lalu ia pun genap berusia 48 tahun, tapi ia selalu kuanggap masih muda saja. Meskipun ia berkulit hitam dan kurus, wajahnya bersinar menunjukkan bahwa ia memiliki istri super yang selalu merawat suaminya dengan baik yang merupakan ibu kandungku. Bernama Maryanti, berusia sekitar 44 tahun. Ibuku memiliki wajah bundar dengan kulit yang bersinar meski tanpa memakai bedak. Bermata sipit seperti orang –hampir cina yang diturunkan kepada kami ber-empat. Tubuhnya gemuk layaknya ibu-ibu biasa, cerewet dan mempunyai tangan dan pelukan yang hangat.
Aku cinta ayah dan ibuku, entah mungkin tanpa mereka berdua,tak tahu apa jadinya kami nanti. Ataupun salah satu dari mereka pergi, akankah aku dapat menjalani hidupku dengan normal? Entahlah.
***
Kembali aku tersentak oleh rasa sakit yang menjalar dari ubun-ubunku hingga terpusat ke otak belakangku, terasa seperti kepalaku akan lepas dan menggelinding ke luar. Rasa pedih ini menjalar ke seluruh tulang belakakngku, aku bahkan tak sanggup menggerakkan tubuhku sedikit saja. Aku menangis diamdiam, Ya Tuhan.. ada apa denganku sekarang? Apakah waktuku akan segera tiba? Jika memang waktuku sudah dekat, maka percepatlah! Aku tak ingin membuat keluargaku kesusahan melihatku seperti ini lebih lama lagi. Kugigit bonekaku untuk menyembunyikan rintihanku. Kurasakan kaki dan tanganku dingin seperti kehilangan darahnya. 15 menit, sekitar 15 menit aku menangis menahan sakit, dan jleb! Secara ajaib seperti biasanya rasa sakit itu menghilang. Tak lama kemudian kudengar suara gas mobil di depan rumah, ternyata Ayah dan ibuku pulang dan membawa kantung-kantung besar berisi semua makanan yang aku sukai, dan adik bungsuku membawa kantung kecil yang sepertinya ringan, ia tersenyum bahagia menunjukkan gigi ompongnya.
“kak, liat aku sama mama papa beli apa? Semuanya untuk kakak lhooo… “ ujarnya dengan suara yang sok pamer kepadaku. Kantung-kantung tersebut mereka letakkan didekatku memberikan kode bagiku untuk membongkarnya. Kupaksakan untuk duduk. Aku hanya sedikit meringis, menahan sakit agar tak membuat keluarga yang sangat menyayangiku panik.
Ada Pizza, juice melon, martabak, snack, yoghurt, maupun permen yang biasa kuminta kepada orangtuaku. Sebenarnya aku tak terlalu menginginkan makanan itu. Tapi untuk menghargai usaha orang tuaku kubuka satupersatu makanan itu dan kupanggil adik sepupuku Dorris yang memang sudah lama tinggal dengan kami untuk makan bersama.
“ris, hei dorris, sudahlah belajar, ayoo makan sini.” Ujarku dengan usaha sedikit untuk berteriak.
“iya kak…” adik sepupu lelakiku ini memang penurut. Terkadang sering ia aku perintah sana-sini untuk mengerjakan pekerjaan rumahku.
Andaisaja aku sedang sehat, tak akan kubagi makananku kepada kak Icha dan Dorris seperti saat ini, karena aku memang pelit dan egois.
Tak lama kemudian , bunyi knalpot motor gede milik Abang-ku pun mendekat ke pintu bagasi. Karena bagasi dan ruang keluarga kami bersebelahan, Abang-ku langsung bergabung dengan kami. Dan kami semuapun menikmati makanan ini walaupun aku hanya bisa memakan segigit dua gigit dari semuanya. Akupun minum obat dan berbaring di sofa ruang tamu yang nyaman ini. Dan tertidur nyenyak tak seperti biasanya.
***
“….iya, iya, jadi ambulance nya jam 10 malem ya? Hmm oke oke.. wassalamualaikum” ayahku menutu percakapannya di dalam telepon genggamnya. Aku yang sedang tidur tadi langsung terbelalak mendengar kata ‘Ambulance’ aku sedikit sensi, akhirnya terucaplah dimulutku.
“kenapa pa pesen ambulance? Buat angkut kakak kerumah sakit ya?” kataku dengan layu.
Ibuku yang mendengar pertanyaanku langsung menghampiri dan mengusap wajahku. Ayahku sedikit terkejut dengan omonganku.
“ya Allah nak, kanapa mikir sampe situ. Papa pesen ambula buat orang tuanya om Jemi di Kayuagung, barusan meninggal mau dibawa ke Palembang. Jangan sembarangan” ujar ibuku sedih. Ayahku langsung memelukku dan berkata, “kakak pasti sehat kok, sudah istirahat lagi di kamar mama papa aja sama lala” aku tersenyum dan menuruti perintah ayahku.
***
Esok harinya aku merasa tubuhku bugar kembali dan merasa rindu akan sahabat dan temanku disekolah. Aku merengek ingin kesekolah, pastinya aku tidak diizinkan. Tapi kulepaskan seribu rayuan gombalku higga aku berhasil membujuk mama untuk memperbolehkanku pergi ke sekolah. Aku tersenyum sumringah. Baru kali ini aku begitu semangat  menuju ke sekolah.
Baru saja tiba di sekolah, Dina langsung merangkulku untuk menunjukkan bahwa ia  merindukanku. Aku tersenyum.
“ta!!!. Sudah sehat?! Aku kangen sama kamu..” teriaknya heboh.
“iya, alhamdulillah, semoga aja ngga kayak minggu-minggu kemaren Cuma 1 hari masuk dalem seminggu..” jawabku dengan energy yang tak kalah darinya.
“iya!! Udah 3 minggu kamu kaya gitu, udahlah, anggep sekolahan punya nenek kamu aja”balasnya. Kami pun tertawa dengan cerianya.
Tiba dikelas, aku melihat sesosok anak laki-laki yang menurutku menjengkelkan. Mempunyai tahi lalat dimana-mana. Kami bertemu pandang, aku merasa muak melihat wajah nya dan pula kulihat raut kebencian dimatanya. Aku pun ingat kejadian bulan lalu yang membuat kami seperti ini.. saling membenci. Andre, itulah namanya.
***
Bel  yang menandakan jam sekolah berakhirpun berbunyi, aku berlari ke kelas IX a, kelas sahabatku sejak pertama kali sekolah disini, Windi. Aku menunggu di depan kelasnya dengan senyum yang lebar. Sekitar 5 menit menunggu, akhirnya ia pun keluar kelas.
“kenapa ta senyumsenyum?” tanyanya dengan wajah heran.
“Ayo ikut aku, ada pertunjukkan di depan sekolah” jawabku bersemangat.
“nah, aku ga bisa sekarang. Aku piket, harus bersihin kelas dulu. Besok ceritain aja tuh pertunjukkan”jawabnya sedikit lesu.
“yahhh. Yaudahlah, bye “ aku pun berbalik badan, tapi aku sangat bersemangat.
Di depan sekolah..
“Ndre, kesini sebentar.” Panggilku kepada seorang anak lelaki bertubuh kurus tinggi yang sebelumnya sangat kusukai itu.
“kenapa?” Pekiknya cuek.
“kesini!!” aku sedikit berteriak mengimbangi bunyi bus kota yang berlalu-lalang di belakangku. Anak itu hanya diam. Akhirnya kuhampiri dia di pagar sekolah tempat ia bersandar. Masih kupasang wajah ramah kepadanya. “Aku mau ngomong!” kataku lagi. “ngomong apa sih? Disini aja” jawabnya cuek. Aku gemas melihat tingkahnya yang menjengkelkan seperti itu. Kuraih tangannya dan kutarik agar ia mengikutiku ke trotoar. Dia hanya menutupi wajahnya dan membentak.
“kenapa sih?! Jangan tarik-tarik! Aku malu! Malu sama Ditha!”. Darahku melaju sampai keotak membuatku benarbenar terbakar emosi.
“oh.. jadi kamu malu? Malu sama Ditha? Jadi kenapa kamu cium pipi aku kemaren kalo kamu malu sama dia?!” akupun membentaknya hingga teman-teman sekolahku maupun adik kelasku melihat kearah kami berdua.
“lah? Aku kan cuma ci…”. Plakkkkkkk! Kulayangkan telapak tanganku beserta kelima jarinya di pipi sebelah kirinya tanpa membiarkan ia menyelesaikan kalimat yang sudah bisa kutebak.
“hah?! Nggak malu lagi kan? Ini baru namanya malu!!” bentakku dengan wajah ganas. Ia diam dengan tangan yang mengelus pipinya.
Semua orang pun berlari menuju kami, mayoritas perempuan menghampiriku untuk menanyakan apa yang sedang terjadi.  Kudengar suara andre berteriak. “Lihat aja nanti! Akan aku balas semuanya!” Pekiknya geram. Akupun membalas, “emang Gua takut?! Dasar banci, jangan nunggu nanti! Sekarang kalo mau bales!?” akupun menantangnya dengan wajah bangga telah memberikan pelajaran kepadanya.
***
“jadi kalo minus dikalikan minus hasilnya? Plus. Baiklah, cukup disini dulu ya pelajaran hari ini. Jangan lupa belajar sedah kelas Sembilan.” Tutup pak hilmi menandakan bahwa jam istirahat sudah tiba. Akupun berdiri bersiap untuk pergi ke kantin ‘Pak Bendot’ untuk membeli snack untuk mengganjal perutku. Baru saja dua langkah aku berjalan, tibatiba kepalaku kembali sakit. Badanku terasa akan rubuh sehingga aku mencoba dengan sigap menarik kursi agar aku bisa duduk. Dina yang yang sudah di pintu kaget dan menghampiriku seakan sudah tahu, apa yang telah terjadi kepadaku. Aku menangis terisak. Dina pun berlari ke ruang guru memberitahukan ke guru tentang diriku, sedangkan teman-teman ku yang lain berbagi tugas merawatku. Dan pada saat itulah aku merasa aku mempunyai teman yang baik disini.
Atul menuju kantin untuk membeli segelas air mineral untukku, Lili menghiburku dengan banyolannya yang meredakan sakitku, sedangkan Risty, memijat-mijat leherku. Tak lama kemudian bu Devi selaku wali kelasku datang dan meraba kepalaku untuk memeriksa temperature badanku. Kulihat dia sedikit terkejut karena panas tubuhku sangat tinggi.
“masih panas badan nita ini. Jam berapa adik nya Nita yang sekolah di MI di jemput biasanya?” Tanya bu Devi.
“jam 12 bu..” jawabku seadanya.
“yasudah sebentar lagi jam 12, tunggu di UKS saja. Langsung pulang ya.” Ujarnya sambil membelai kepalaku.
“iya Bu..” teman-temanku membereskan buku milikku dan dimasukkannya kedalam tasku. Aku pun di bopong keluar kelas untuk pulang. Dan sekali lagi aku berpapasan dengan Andre. Aku tahu ia memperhatikanku hari ini. Tapi, yasudahlah, nasi telah menjadi bubur kepedulianku kepadanya sudah berubah menjadi api kebencian yang sangat mendalam.
Tiba di UKS, aku lihat ada adikku yang sedang duduk di dekat pos satpam melalui jendela dekat ranjang besi tempatku berbaring. Aku memperhatikan tawanya yang lepas sambil bercanda dengan Annisa, sahabatnya. Aku membayangkan, apakah adikku akan tertawa lepas seperti itu jika aku tak ada lagi di dunia ini? Apakah ayah, ibu, kakak, dan abangku dapat bahagia meskipun aku telah menghilang dari kehidupan mereka. Semoga saja mereka bahagia. Tuhan, jagalah mereka.. mereka adalah orang-orang yang sangat kucintai. Aku mungkin takkan bisa melihat senyum mereka lagi, Tuhan, ambillah nyawaku. Aku sudah siap untuk bertemu dengan-Mu.
Tak lama kemudian aku melihat Abangku memarkirkan mobil kami di depan sekolah. Aku bangkit dari tidurku dan bergegas pamit kepada Bu Devi.
“Kalau besok masih sakit, jangan kesekolah dulu. Ngga usah kirim surat tidak apa-apa” pesan bu devi kepada Abangku.
“iya bu, maaf ya bu merepotkan. Assalamualaikum”. Pamit Abangku, kami pun langsung menuju mobil dan pulang kerumah.
***
Sesampainya dirumah aku langsung membasuh wajahku dengan wudhu. Ku tunaikan shalat Dzuhur yang jarang sekali aku laksanakan. Setelah itu kupakaikan mukena bermotif bunga hijau yang dibelikan oleh ayahku pada bulan Ramadhan tahun lalu.
“yaa Allah, ampunilah segala dosaku, dosa ayah dan ibuku, dosa adik kakakku. Jagalah mereka dalam lindunganMu. Ya Allah sembuhkanlah aku dari penyakit yang tidak aku ketahui ini. Sekali lagi yaa Allah ambil lah nyawaku yang memang milik-Mu ini. Kurangilah kecemasan keluargaku atas penyakitku ini. Jika memang benar bahwa aku akan Engkau jemput, aku tunggu hingga 40 hari ini. Jika tidak, berikanlah aku umur yang panjang untuk membahagiakan kedua orang tuaku.. Rabbighfirlii Waliwalidayya warhamhuma kama Rabbayani shagirah. Amin..”. aku mengusap air mata yang telah membasahi pipiku, tanpa kulepas lagi aku terdidur di atas sajadah merah dan masih mengenakan mukena.
***
Makan malam ini lagi-lagi aku harus menelan semangkuk penuh bubur putih yan dibuatkan oleh kak Acha. Aku merasa mual dan akhirnya aku memuntahkannya lagi. Lagi-lagi kakak dan adikku kerepotan membersihkan bekasku itu. Aku menangis dalam diam lagi.
“Tita ini sakit apa sih? Jangan-jangan tumor otak!” nada pertanyaan kakakku ini menunjukkan bahwa ia sudah jenuh mengurusku satu bulan ini. Ibuku langsung melotot dan mencubit paha kak Acha. Melihat kejadian itu, aku langsung tersentak. Aku mulai berfikir perkataan itu ada benarnya. Aku selalu mengeluhkan kepalaku yang sakit. Ataukah aku kanker tulang? Mengingat tulang belakangku yang tak jarang nyeri di waktuwaktu tertentu. Ah sudahlah! Tapi kenapa ibuku seperti itu? Kuingat selama aku sakit hanya satu kali aku diajak berobat menemui dokter. Dan sisanya? Ibuku hanya menebus obat-obatan dari dokter yang sekarang dicampur dengan sedikit obat herbal yang pahit sekali. Ayah. Ada apa dengan diriku ini. Aku mulai berfikir berlebihan.
Untuk kesekian kalinya aku tersenyum kecut. Ibu menghampiriku dengan sebotol air yang di dalamnya direndam beberapa akar-akar herbal yang aku tidak faham apa namanya. Baru kali ini aku melihat air ini selama aku sakit.
“tita hari ini belum minum obat kan? Nih ada obat lagi yang baru. Semoga aja besok titta udah sehat lagi ya sayang. Nih habiskan dalam sekali tarikan nafas.” Ujar ibuku.
Aku hanya menuruti perkataan ibuku.
“Bismillah.”. tak sampai 10 detik aku menghabiskan sebotol air yang ternyata tak pahit ini. Aku tersenyum sumringah bahagia karena akhirnya aku tak meminum obat herbal yang pahit seperti empedu ikan. Aku kembali memakan buburku. Dan ajaibnya aku makan dengan lahap dan tidak memuntahkannya. Setelah itu aku menarik selimutku karena merasa sedikit kedinginan.
***
Aku memasuki pintu gerbang indah berisi orang-orang yang tak kukenali. Tempat ini terlihat begitu indah, tetapi kenapa aku merasakan wangi bunga melati yang bercampur mawar seperti di depan rumahku di ujung hidungku. Aku berjalan sekitar sepuluh langkah ke kanan dan aku melihat orang-orang tua yang sehat tetapi terlihat miskin dan menyedihkan namun mengguratkan wajah yang bahagia. Tempat apa ini? Sepertinya aku tak pernah ke tempat ini. Aku menyentuh bahu seorang lelaki yang sepertinya lebih dari seabad yang sepertinya ku kenali. Tapi aku tak tahu siapa namanya dan dimana kami bertemu. Ia menoleh kepadaku. Aku ingin bertanya ini ada dimana. Tetapi ia langsung meraih tanganku dan mengajakku untuk pergi darisana dan kembali ke gerbang tempat aku masuk kesisni tadi.
Aku hanya tercengang. Dia tidak berbicara sepatah katapun denganku.
“maaf puyang, Tita harus kemana?” tanyaku sedikit merasa sungkan.
Dia hanya tersenyum. Dan mengarahkan tangan nya seperti menunjuk ke arah berlainan dari tempat aku pergi tadi. Aku pun menuruti arah dari tangannya. Aku melihat kucingku sedang menjilati bulu tiga warnanya.
“meng. Kok ada disini?” tanyaku seperti orang bodoh kepada Meng. Dia berdiri dengan keempat kakinya dan beranjak pergi seraya menoleh kepadaku mengisyaratkan aku untuk mengikutinya. Aku mengikutinya, kususuri jalan yang terang dan berkabut ini. Ternyata ini adalah rumahku.
Kumasuki rumahku dan kulihat ayah, ibu, adik, kakak, dan abangku sedang tertidur. Aku merasa lega karena telah kembali kerumah. Aku pun tidur lagi keatas ranjangku.
***
Ibuku memegang keningku ingin memeriksa suhu tubuhku. Aku jadi terbangun.
“ma, tadi Tita jalan-jalan sendirian, tita tersesat. Untung ada kakek yang nunjukkin arah ke tita. Terus ada Meng yang bawa Tita pulang.. Pas tita pulang mama sama papa udah tidur” ceritaku ke mama. Mama hanya mengernyitkan dahi, kebingungan.
“kapan kakak pergi? Dari kemaren sore kamu tidur, bangunnya siang begini, kakak juga belum pulang katanya mau nginep dirumah nenek karena besok ada kuliah pagi. Mimpi niyeee” ledek ibuku seraya kembali kedapur. Aku merasa aneh, sepertinya tadi itu nyata. Aku merasa benarbenar berjalan dengan kaki telanjang. Aku benarbenar pergi ketempat itu. Aku mencari Meng, ternyata dia ada di bawah kasurku sambil menjilat bulunya seperti biasa. Kegendong tubuhnya, kutanya pelan. “meng, tadi aku benarbenar pergi kan?” aku benarbenar bodoh. Berharap meng dapat menjawab. Meng hanya menjilatjilat tanganku, sepertinya Meng menjawab iya. Tapi ah sudahlah~ anggap saja itu benarbenar mimpi.
Aku ke dapur menyusul ibuku dan membantu mengupas bawang. Hingga sore hari aku tak tidur dan tak berbaring. Ajaibnya aku merasa sehat kembali dan benar-benar sehat. Sepertinya ada energy baru didalam tubuhku. Hingga malampun tiba aku tak merasakan sakit yang menghentak tubuhku bahkan aku tak merasa pusing.
Terima kasih ya Allah.
 (Bersambung..)


Senin, 16 Maret 2015

Short Stories




Short stories are some of the first pieces of literature that children become acquainted with in their lives. However, as we age, sometimes we forget what these stories are about, their key elements or the ways that they continue to shape our lives as we grow.
Short Stories for All Generations
Children's Tales
Let's return to the idea of children's tales, since people are generally familar with these stories.
Here's some examples of titles of short stories. They are available in book formats, but people also tell these stories by word-of-mouth.
  • "Peter Pan"
  • "The Little Mermaid"
  • "The Princess and the Pea"
  • "The Gingerbread Man"
  • "Rapunzel"
  • "Beauty and the Beast"
  • "Cinderella"
  • "Rip Van Winkle"
  • "Snow White and the Seven Dwarfs"
  • "Stone Soup", etc
Whether contemporary or classic, all of these tales fit the description of a short story - they tell a complete story in a small number of words.  Many of these stories have morals or teach a lesson in a relatively short words. So these stories will easy understanding by Children.


Adult Short Stories
Short stories are not just for children. a prose narrative shorter than a novel.
Here are some works of literature that fall into the category of short story:
  • "The Gift of the Magi" by O. Henry
  • "The Necklace" by Guy de Maupassant
  • "The Lady with the Little Dog" by Anton Chekov
Reading some of these short stories will better acquaint you with the short story form and the challenges of the author to develop an interesting plot and detailed characters in a minimal amount of words.
Creating Short Stories
Choosing an Audience
As with any story, you must be prepared to write for your audience. Choose to write a clear and concise tale with illustrations for little ones, or focus on a more complex theme for adults that can still be written in a compact amount of space.
Focusing on an Idea
Figure out where your story is going, and work on having most of the other details come together to support that main point. This tactic will help to keep the short story at an acceptable length, while still fulfilling thematic and creative requirements of a work of literature.
Examples of Short Stories
Here are many examples of short stories for you to read online. Online has become another leg in our life. WE have to take that into account so that we will go along the growth of the science and technology. Computer has revolutionalised our world. The people have started to see another world. What we were has become history. The twentieth century has become remote history. The IT companies and other computer-based companies have outperformed other traditional companies which have been there for a long time. Accuracy has become the most used word among the people. Telecommunication has become very very cheap affair all over the world. All these achievements are possible because of Computer and the Internet. Reading short stories online has become our favorite pastime.
Collection of Short Stories :

o   Zen Tales
o   Classics
o   Fables

For many writers, the short story is the perfect medium. While writing a novel can be a Herculean task, just about anybody can craft—and, most importantly, finish—a short story. That does not mean that short stories are easy to write or that they aren't as artistic and valuable as novels. With practice, patience, and imagination, you could be the next best-selling author.
1.      Collect the ideas for your story
Inspiration can come anytime, anywhere. So carry a small  note or your SmartPhone, and you can write the ideas.
2.      Begin with the Basics of a short story
The steps to make a good story are :
o   Introduction
o   Initiating action
o   Rising action
o   Climax
o   Falling action
o   Resolution

3.      Find the inspiration from real people.
4.      Know your characters.
5.      Limit the breadth of your story
6.      Decide who will tell the story
7.      Start writing
8.      Read & edit the text.


okay. thank`s for reading..